Senin, 03 Oktober 2011

PERAN APBD DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

Peran APBD dalam Menyejahterakan & Memandirikan Rakyat

Gubernur Jatim Soekarwo berjanji segera merealisasikan program kerjanya yang tertuang dalam konsep APBD untuk Rakyat. Artinya, ke depan sesegera mungkin APBD untuk rakyat direalisasikan menjadi program riil untuk seluruh rakyat Jatim. Tapi, pada era otonomi daerah (otda) seperti sekarang, harus seperti apa merealisasikan APBD untuk rakyat itu?

Sekadar membuat program, lalu dijalankan oleh perangkat birokrasi di jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim? Disinilah persoalannya. Sebab, pemerintah kabupaten-kota juga memiliki otonomi, baik program maupun kewenangan otonomi. Kewenangan itu, sesuai UU No 32/2004, tidak bisa diintervensi pemprov. Dengan kata lain, posisi pemprov saat ini bukan bersifat subordinasi terhadap kabupaten-kota di Jatim.

Bagaimana kalau jalan sendiri-sendiri? Tentu saja akan banyak tarik-menarik serta tumpang tindih. Akibatnya, pembiayaan menjadi tidak fokus serta boros anggaran. Dan itu berarti masyarakat dirugikan. Karena itu, Soekarwo perlu mencari jalan tengah yang akomodatif. Dalam hal ini, perlu melakukan langkah yang lebih melibatkan pemerintah kabupaten-kota dalam merealisasikan janji program kerjanya. Ini sekaligus menjadi langkah awal untuk melembagakan fungsi koordinasi, supervisi, mediasi, dan supporting agar ke depan Pemprov Jatim bisa meningkatkan integrasi program dengan pemerintah 38 kabupaten-kota. Dengan mengawali langkah seperti ini, pemprov sekaligus menjadi tali penyambung kemitraan dan sinergi antarkabupaten-kota serta agar membiasakan diri saling bekerja sama. Tidak jalan sendiri-sendiri yang sering berakibat baik bagi internal kabupatenkota di satu pihak, namun juga berakibat buruk bagi kabupaten-kota lain. Atau, baik bagi provinsi, tapi berakibat buruk bagi kabupaten-kota.

Secara empiris kinerja pembangunan di Jatim tahun 2007 bidang ekonomi naik sebesar 6,11% dan tahun 2008 tumbuh hanya sebesar 5,90%. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2007 sebesar 68,06%, sedangkan tahun 2008 meningkat menjadi 68,92%. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin sebesar 18,89% sedangkan tahun 2008 menurun menjadi 16,97%.


Konsep Negara

Tema kesejahteraan rakyat yang selalu mengemuka dalam perdebatan publik lebih banyak retorika politik, yang berangkat dari interpretasi sepihak, baik di kalangan pejabat pemerintah maupun politisi di parlemen. Dalam konteks ini, perlu menyimak ulang ide negara kesejahteraan dengan merujuk pemikir-pemikir klasik antara lain Asa Griggs, The Welfare state in Historical Perspective (1961); Friedrich Hayek, The Meaning of the Welfare state (1959); dan Richard Titmuss, Essays on the Welfare state (1958).

Buku Titmuss ini bisa dibilang karya magnum-opus yang secara mendalam mengupas ide negara kesejahteraan sebagai berikut: "a welfare state is a state in which organized power is deliberately used through politics and administration in an effort to modify the play of market forces to achieve social prosperity and economic well-being of the people".Pemikiran tersebut dapat disarikan menjadi tiga hal esensial. Pertama, negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk memperoleh pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling pokok. Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial jika individu dan keluarga ada dalam situasi rawan/rentan sehingga mereka dapat menghadapi social contigencies, seperti sakit, usia lanjut, menganggur, dan miskin yang potensial mengarah ke atau berdampak pada krisis sosial. Ketiga, semua warga negara, tanpa membedakan status dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi (bagi anak balita), sanitasi, dan air bersih.

Merujuk tiga gagasan itu, jika dikaitkan dengan masa kini adalah pergeseran pada sistem pemerintahan demokratis dan terlembaga, institusionalisasi politik dan lembaga-lembaga pemerintahan yang menjadi ciri negara demokrasi modern harus dan terus berproses menuju konsolidasi. Arah dan perkembangan peran negara telah terjadi sebagai akibat proses modernisasi dan demokratisasi sistem pemerintahan negara.

Faham negara mengalami perkembangan dari Political state menjadi Legal state dan akhirnya Welfare state. Ketiga faham tersebut semuanya memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki negara sebagai penentu kehendak terhadap aktifitas rakyat yang dikuasainya. Negara “Welfare state” muncul sebagai jawaban atas ketimpangan sosial yang terjadi dalam sistem ekonomi liberal. Pada faham Negara Kesejahteraan sudah dikenal adanya pembagian (distribution) dan pemisahan (separation) kekuasaan. Negara memiliki freies ermessen, yaitu kebebasan untuk turut serta dalam seluruh kegiatan sosial, politik dan ekonomi dengan tujuan akhir menciptakan kesejahteraan umum (bestuurszorg).

Lembaga Negara pada tiga dasarwasa terakhir abad ke 20 mengalami perkembangan yang pesat. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain:
a. Negara mengalami perkembangan di mana kehidupan ekonomi dan sosial menjadi sangat kompleks yang mengakibatkan badan eksekutif mengatur hampir seluruh kehidupan masyarakat
b. Hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara kesejahteraan (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensip dari semua lembaga negara yang ada.
c. Adanya keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin komplek mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-institusi kenegaraan semakin berkembang.
d. Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan terjadinya berbagai kesulitan ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation).

Tujuan negara kesatuan Republik Indonesia alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Adapun tujuan negara Indonesia adalah
1. untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. untuk memajukan kesejahteraan umum;
3. untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
4. untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Jadi Fungsi Negara yang mutlak adalah :
1. Melaksanakan penertiban (law and order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam rnasyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai "stabilisator".
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini dianggap sangat penting, terutama bagi negara-negara baru. Pandangan ini di Indonesia tercermin dalam usaha pemerintah untuk membangun melalui suatu rentetan Repelita.
3. Pertahanan; hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk ini negara dilengkapi dengan alatalat pertahanan.



APBD dan Stimulus Ekonomi

Otonomi daerah memberikan kebebasan pemda untuk menggunakan anggaran sesuai keperluan mereka. Asumsinya, pemerintah daerah lebih mengerti kondisi di daerahnya sehingga alokasi anggaran lebih tepat dan sesuai kebutuhan. UU No 25/1999 tentang Desentralisasi Fiskal memberikan jaminan pemda untuk menggunakan APBD demi perekonomian daerahnya. Sesuai UU No 25/1999, ada lima komponen sumber penerimaan PAD, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, penerimaan dinas, dan penerimaan sah lainnya. Namun, di daerah-daerah di Jawa, PAD hanya memberikan kontribusi kurang dari 10 persen dari APBD. Bagian terbesar dari APBD di daerah-daerah di Pulau Jawa adalah DAU (dana alokasi umum) dari pemerintah pusat.

Mazhab ekonomi Keynessian dan Neo-Keynessian memberikan saran bahwa campur tangan pemerintah dalam perekonomian sangat diperlukan untuk menciptakan keseimbangan perekonomian dalam jangka pendek. Dalam kondisi ekonomi booming, maka pemerintah bisa mengurangi campur tangannya dalam perekonomian. Namun, pada saat perekonomian mengalami overheating atau aktivitas ekonomi yang terlalu dinamis, pemerintah bisa mengerem laju pertumbuhan ekonomi untuk menghindari resesi. Sebaliknya, dalam kondisi perekonomian lesu, pemerintah harus membantu menggairahkan kondisi ekonomi.

Instrumen yang digunakan pemerintah dalam mengendalikan perekonomian adalah instrumen fiskal, yaitu anggaran. Selama ini masyarakat mempunyai anggapan bahwa yang bertanggung jawab memberikan stimulus dalam perekonomian adalah pemerintah pusat, maka instrumen yang dilakukan dengan pengelolaan APBN. Masalahnya, dalam era otonomi daerah sekarang ini, kontrol pemerintah terhadap anggaran dikurangi. Ini karena adanya kewajiban bagi pemerintah pusat untuk membagi wewenang dalam penentuan anggaran pembangunan bagi daerah melalui mekanisme DAU. Dana alokasi umum berarti pemerintah menyerahkan sebagian tanggung jawabnya dalam melakukan stimulus bagi perekonomian.

UU No 25/1999 berarti pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk turut serta memberikan rangsangan (stimulus) dalam perekonomian apabila kondisi ekonomi lesu. Ini dilakukan dengan pengelolaan APBD secara benar. Ini tampaknya kurang dipahami pemerintah daerah. Ada banyak kasus kebijakan pemda tidak mempunyai tujuan menggerakkan perekonomian daerah. Misalnya dalam menentukan anggaran pembangunan, banyak proyek pemda yang tidak bisa dilihat dampak berantai (multiplier effect)-nya bagi perekonomian. Kondisi di daerah miskin di Pulau Jawa, pembangunan (fisik dan nonfisik) tidak berjalan dengan baik karena APBD defisit sehingga hanya cukup untuk membiayai anggaran rutin. Sebaliknya, di daerah kaya di luar Pulau Jawa, yang APBD-nya surplus, maka kesulitannya adalah menentukan prioritas pembangunan.

Pengelolaan APBD yang tidak efisien ternyata mempunyai dua sisi. Defisit APBD yang terjadi di daerah-daerah di Pulau Jawa jelas berdampak negatif bagi perekonomian daerah karena pemda tidak mampu memberikan stimulus bagi perekonomian. Namun, daerah yang mempunyai APBD surplus ternyata juga tidak mampu memberikan stimulus bagi perekonomian dengan APBD karena anggaran pembangunan tidak dikelola dengan efisien.

Pembangunan kesejahteraan sosial, memiliki arti strategis bagi pembangunan daerah. Sedikitnya ada empat (4) fungsi penting pembangunan kesejahteraan sosial bagi keberlanjutan pembangunan di daerah :
1. Mempertegas peran penyelenggara negara dalam melaksanakan mandat “kewajiban Negara” (state obligation) untuk melindungi warganya dalam menghadapi resiko-resiko sosial-ekonomi yang tidak terduga (sakit, bencana alam, krisis) dan pemenuhan kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dan berkualitas.
2. Mewujudkan cita-cita keadilan social secara nyata. Pembangunan kesejahteraan social yang dilandasi prinsip solidaritas dan kesetiakawanan sosial pada dasarnya merupakan sarana redistribusi kekayaan suatu daerah dari kelompok berpenghasilan kuat (pengusaha, penguasa, pekerja mandiri) kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Melalui mekanisme perpajakan, pemerintah daerah mengatur dan menyalurkan sebagian PAD-nya untuk menjamin tidak adanya warga masyarakat yang tertinggal dan terpinggirkan oleh derap pembangunan.
3. Mendorong pertumbuhan ekonomi. Pembangunan kesejahteraan social memberi kontribusi terhadap penyiapan tenaga kerja, stabilitas social, ketahanan masyarakat, dan ketertiban social yang pada hakekatnya merupakan prasarat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Sebagai ilustrasi, program perlindungan anak atau pelatihan remaja putus sekolah memperkuat persediaan dan kapasitas tenaga kerja dalam memasuki dunia kerja. Stabilitas social merupakan fondasi bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi, kepada masyarakat yang menghadapi konflik social sulit menjalankan kegiatan pembangunan.
4. Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Fokus pembangunan kesejahteraan social adala pada pembangunan manusia dan kualitas SDM memlalui perlunya pendidikan dan kesehatan masyarakat penduduk miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar