Senin, 03 Oktober 2011

Kelembagaan Kependudukan Era Otonomi Daerah



Fauzana, SE, M.Pd.I
Pendahuluan
Ada beberapa prinsip yang harus diingat untuk mengembangkan kelembagaan dalam sistem birokrasi yang baik, pertama, kelembagaan harus dibentuk mengikuti kewenangan yang ada dan bukan sebaliknya kewenangan dikembangkan berdasarkan kelembagaan yang tersedia. Kedua, kewenangan yang ada bukan berarti harus diikuti dengan pembentukan suatu kelembagaan yang utuh, namun perlu dikaji dengan seksama bentuk kelembagaan yang sesuai untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Ketiga, dalam birokrasi modern berlaku prinsip efisiensi yaitu jumlah lembaga pemerintah diupayakan “seramping” mungkin. Prinsip efisiensi ini di dasarkan pada pertimbangan bahwa tidak seluruh masalah harus diurus oleh pemerintah serta pemerintah lebih berperan sebagai “pengarah” daripada ‘pelaksana’. Oleh karena itu pembahasan kelembagaan kependudukan dalam era otonomi, sebagaimana topik bahasan pada saat ini, harus berada dalam konteks ketiga prinsip di atas.
Pembahasan akan dibagi dalam beberapa bagian, pertama, peran kependudukan dalam pembangunan nasional. Pada bagian ini ditelaah seberapa jauh sebenarnya pembangunan berwawasan kependudukan berpengaruh pada pembangunan nasional, serta apa yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembangunan berwawasan kependudukan. Kedua, adalah kilas balik untuk melihat bagaimana pandangan pemerintah Indonesia selama ini dalam melihat pembangunan kependudukan dalam konteks dengan pembangunan nasional. Pada bagian ini juga akan dibahas berbagai perubahan kelembagaan kependudukan di Indonesia dan latar belakangnya. Bagian selanjutnya adalah pembahasan tentang kemana arah pembangunan nasional kedepan dan bagaimana kaitannya dengan pembangunan kependudukan. Pada bagian ini juga dibahas bagaimana kiranya bentuk kelembagaan kependudukan pada masa mendatang dikaitkan dengan arah pembangunan nasional.

Dimensi Kependudukan dalam Pembangunan Nasional

Dimensi kependudukan dalam pembangunan nasional dapat dilihat dalam dua sisi, yaitu: (1) bagaimana mengintegrasikan aspek kependudukan dalam perencanaan pembangunan nasional dan (2) pembangunan kependudukan itu sendiri. Sisi pertama merupakan penjabaran dari pembangunan berwawasan kependudukan merujuk pada konsep agar perencanaan pembangunan (baca pembangunan ekonomi) harus memeperhatikan dinamika kependudukan yang ada. Sisi kedua merujuk pada bagaimana membangun penduduk itu sendiri agar dapat menjadi pelaku-pelaku pemabngunan yang andal. Dalam hal ini bagaimana mengendalikan pertumbuhan penduduk, mengarahkan mobilitas penduduk, meningkatkan kualitas penduduk dan didukung dengan sistem informasi kependudukan yang andal.
Ada beberapa alasan yang melandasi pemeikiran bahwa kependudukan merupakan isu yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional, antara lain adalah:
Pertama, kependudukan, atau dalam hal ini adalah penduduk, merupkan pusat dari seluruh kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan. Dalam GBHN dengan jelas dikemukakan bahwa penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Sebaliknya, pembangunan juga harus dapat dinikmati oleh penduduk yang bersangkutan. Dengan demikian jelas bahwa pembangunan harus dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan tersebut. Sebaliknya, pemabngunan tersebut baru dapat dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang luas.
Kedua, keadaan atau kondisi keendudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai, akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan tingkat kualitas yang rendah, menjadikan penduduk tersebut hanya sebagai beban bagi pemabngunan nasional. Iskandar (1974) memperkirakan bahwa tanpa adanya program pengendalian pertumbuhan penduduk maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1995 akan berjumlah 237 juta jiwa. Kenyataannya jumlah penduduk pada tahun tersebut adalah sekitar 194 juta jiwa. Dengan demikian program pengendalian pertumbuhan penduduk telah berhasil melakukan ‘saving’ untuk bebagai pengeluaran bagi sekitar 43 juta jiwa penduduk Indonesia. Pengeluaran tersebut dialihkan kepada program lain yang bermanfaat untuk peningkatan kualitas penduduk seperti kesehatan dan pendidikan.
Ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang. Karena dampaknya baru terasa dalam jangka waktu yang panjang tersebut, seringkali peran penting penduduk dalam pembangunan terabaikan. Sebagai contoh, beberapa ahli kesehatan memeperkirakan bahwa krisis ekonomi dewasa ini akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan seseorang pada 25 tahun kedepan atau satu generasi. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia pada generasi mendatang, 25 tahun setelah tahun 1997. demikian pula, hasil program keluarga berencana yang dikembangkan selama 30 tahun yang lalu (1968), baru dapat dinikmati dalam beberapa tahun terakhir ini. Dengan demikian, tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam kerangka pembangunan nasional sama artinya dengan ‘ Menyengsarakan’ generasi berikutnya.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?. Jargon pemabangunan berwawasan kependudukan sudah lama didengar dalam bentuk atau format lain. Sudah lama didengung-dengungkan mengenai penduduk sebagai sunyek dan obyek pembangunan. Atau jargon mengenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Atau pembangunan bagi segenap rakyat. Konsep “pembangunan  manusia seutuhnya”, yang tidak lain adalah konsep “pembangunan kependudukan”, mulai diterapkan dalam perencanaan pembangunan Indonesia yang sistematis dan terarah sejak Repelita I pada tahun 1969. namun sedemikian jauh, walaupun pada tataran kebijakan telah secara sungguh-sungguh mengembangkan konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan, pemerintah nanmpaknya belum dapat secara optimal mengimplementasikan dan mengintegrasikan kebijakan tersebut dalam berbagai program sektoral.1 Banyak sekali hambatan yang masih terjadi dalam mengimplementasikan pembangunan berwawasan kependudukan.
Mengapa selama ini Indonesia kurang serius dalam menangani pemabngunan berwawasan kependudukan?. Hal ini tidak lain karena keinginan pemerintah untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang harus senantiasa tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan pemabangunan nasional. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, namun pada kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional.
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk yang ada nyatanya tidaklah berlangsung secara berkesinambungan (sustained). Jika dikatkan dengan krisis ekonomi dewasa ini, terjadinya krisis tersebut tidak lepas dari kebijakan ekonomi yang kurang mengindahkan dimensi kependudukan. Strategi ekonomi makro yang tidak dilandasi pada situasi/kondisi ataupun potensi kependudukan yang ada menyebabkan pembangunan ekonomi tersebut menjadi sangat rentan terhadap perubahan. Belum terjadi strategi pembangunan yang berorientasi serius pada aspek kependudukan selama ini.

Beberapa Persyaratan Dalam Mengimplementasikan Pembangunan Berwawasan Kependudukan
Pembangunan berwawasan kependudukan menuntut pada strategi pembangunan yang bersifat ‘bottom-up planing’. Melalui pendekatan ini, tujuan utama seluruh proses pembangunan adalah lebih memeratakan kesejahteraan penduduk daripada mementingkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Karena itu pendekatan ‘bottom-up’ berupaya mengoptimalkan penyebaran sumber daya yang dimiliki dan potensial keseluruh wilayah dan membangun sesuai dengan potensi dan masalah khusus yang dihadapi oleh daerah masing-masing.
Ketimpangan tingkat pembangunan antar daerah menyebabkan penduduk terdorong atau tertarik untuk melakukan pergerakan dari satu daerah kedaerah lainnya. Oleh karena itu pemabngunan daerah perlu diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar daerah perkotaan dan daerah perdesaan, serta mampu membuka daerah terisolasi dan mempercepat pembangunan kawasan yang tertinggal seperti Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sebagai contoh, adanya mobilatas penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan mencerminkan perbedaan pertumbuhan ketidak merataan fasilitas pembangunan antar daerah perdesaan dan daerah perkotaan. Selama masih terdapat perbedaan tersebut, mobilitas penduduk akan terus berlangsung. Apalagi telah menjadi kenyataan yang secara umum diketahui bahwa pada beberapa negara berkembang, konsentrasi investasi dan sumber daya pada umumnya berada di daerah perkotaan.
Kenyataan tersebut makin diperburuk karena perencanaan pembangunan di negara-negara berkembang lebih didominasi oleh pendekatan ‘dari atas’. Strategi pembangunan semacam itu didasarkan pada tujuan utama dari pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena itu proses pembangunan terutama dipusatkan pada sektor industri didaerah perkotaan, menekankan pada kegiatan ekonomi padat modal dan teknologi tinggi. Perluasan industri cenderung diikuti dengan kebijakan substitusi impor dalam rangka meningkatkan kemandirian ekonomi nasional.
Saat ini banyak pemerintah di negara-negara berkembang mengikuti aliran ‘bottom-up planning’ dengan maksud lebih menyeimbangkan pelaksanaan pembangunan, dalam arti memanfaatkan ruang dan sumber daya secara lebih efisien. Pendekatan “bottom-up” mengisyaratkan kebebasan daerah wilayah untuk merencanakan pembangunan sendiri sesuai dengan keperluan dan keadaan daerah masing-masing. Oleh karena itu otonomi yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masing-masing daerah agar mampu mengatur dan menjalankan berbagai kebijakan yang dirumuskan sendiri guna peningkatan kesejahteraan masyarakat didaerah atau kawasan yang bersangkutan. Melalui otonomi daerah, yang berarti adalah desentralisasi pembangunan, maka laju pertumbuhan antar daerah akan semakin seimbang dan serasi, sehingga pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya semakin merata diseluruh Indonesia.
Beberapa kata kunci yang perlu diberikan penekanan pada pemabngunan daerah adalah (1) pemabngunan daerah disesuaikan dengan prioritas dan potensi masing-masing daerah, dan (2) adanya keseimbangan pembangunan anatar daerah. Kata kunci pertama mengandung makna pada kesadaran pemerintah untuk melakukan desentralisasi pemabngunan terutama berkaitan dengan beberapa sektor pembangunan yang dipandang sudah mampu dilaksanakan di daerah masing-masing. Berarti pengambilan keputusan pemabngunan berada pada tingkat daerah.
Kata kunci kedua mengandung makna adanya kenyataan bahwa masing-masing daerah memiliki potensi, baik alam, sumber daya manusia maupun kondisi geografis yang berbeda-beda, yang menyebabkan ada daerah yang memiliki potensi untuk berkembang secara cepat dan sebaliknya ada daerah yang kurang dapat berkembang karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Adanya perbedaan potensi antar daerah ini menyebabkan peran pemerintah pusat sebagai ‘pengatur kebijakan pembangunan nasional’ tetap diperlukan agar timbul keselarasan, keseimbangan dan keserasian perkembangan semua daerah, baik yang memiliki potensi yang berlebihan maupun yang kurang memiliki potensi. Dengan demikian, melalui otonomi dalam pengaturan pendapatan, sistem pajak, keamanan warga, sistem perbankan dan bebagai pengaturan lain yang diputuskan daerah sendiri, pembangunan setempat dijalankan.
Demikian pula diupayakan tersedianya data kependudukan yang memadai untuk keperluan perencanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan. Data ini diperlukan baik untuk pembangunan kependudukan maupun pembangunan nasional pada umumnya melalui administrasi, pencatatan, dan statistik penduduk dalam rangka penyempurnaan sistem informasi kependudukan. Penyempurnaan sistem informasi kependudukan diupayakan melalui peningkatan persamaan persepsi antar sektor terkait dalam peggunaan standar data dan informasi yang menjadi acuan dalam perencanaan pemabngunan yang berwawasan kependudukan dan keluarga. Peningkatan pemasyarakatan kesepakatan istilah-istilah dalam bidang kependudukan dan keluarga, baik yang menyangkut pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas, dan pengarahan mobilitasnya. Peningkatan pengembangan kerjasama kelembagaan dan pembinaan pusat-pusat penelitian dan pengajian kependudukan yang dikelola oleh perguruan tinggi, maupun lembaga swadaya dan organisasi masyarakat, sebagai penganalisis data kependudukan.
Nampaknya ketidak berhasilan Indonesia dalam mengimplementasikan pembangunan berwawsan kependudukan disamping beberapa faktor yang telah disebutkan terdahulu (strategi pembangunan yang lebih menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi), juga terkait dengan sistem pemerintahan yang sentralisasi selama ini. Hampir seluruh kebijakan “dikendalikan” dari pusat dengan sedikit sekali melihat perbedaan kondisi pada masing-masing wilayah.

Kilas Balik Pembangunan Kependudukan Di Indonesia

Sebagaimana dikemukan terdahulu, keterkaitan antara kependudukan dan pembangunan harus dilihat dalam 2 dimensi, yaitu: (1) bagaimana membangun penduduk agar menjadi sumber daya manusia yang andal atau dikenal dengan istilah pembangunan kependudukan, dan (2) begaimana mengintegrasikan isu kependudukan kedalam ‘mainstream’ pembangunan nasional atau mengembangkan pembangunan berwawasan kependudukan.
Keterkaitan tersebut juga harus dilihat pada tataran kebijakan dan imlementasi. Pada tataran kebijakan, analisa diarahkan untuk meliahat sampai seberapa jauh ‘political will’ pemerintah untuk mengintegrasikan isu-isu kependudukan dalam kebijakan pembangunan nasional. Selanjutnya pada tataran implementasi, dapat dilihat seberapa jauh kebijakan tersebut diimplementasikan dalam program-program sektoral.2
Pemerintah sejak awal kemerdekaan sudah mulai memperhatikan aspek kependudukan dalam perencanaan pembangunan. Tentu saja implementasi dari perhatian ini disesuaikan dengan kondisi pada masa itu. Program pemindahan penduduk dari daerah padat ke daerah kurang padat misalnya sudah mulai bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Program transmigrasi yang pertama kali dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tercatat pada tahun 1951 ( Prijono Tjiptoherijanto, 1997, hal 102).
Program transmigrasi pada awalnya lebih dilihat oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja pada daerah-daerah yang jarang penduduknya. Dalam terminologi ilmu kependudukan model seperti ini sering disebut sebagai kebijakan perpindahan penduduk yang langsung (direct policy). Karena jumlah penduduk yang dipindahkan makin lama makin banyak maka pemerintah kemudian memandang perlu mengembangkan suatu institusi yang khusus menangani masalah pemindahan penduduk tersebut. Kemudian munculah kelembagaan transmigrasi. Kelembagaan yang mengurusi transmigrasi ini mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan konsep transmigrasi yang dianut pada kurun waktu tertentu. Pada awalnya program transmigrasi dikaitkan dengan isu ketenagakerjaan dan upaya membina para transmigran agar menjadi pelaku-pelaku ekonomi didaerah tujuan dan oleh karenanya dibentuklah kelembagaan Transkopemada dan kemudian menjadi Nakertranskop. Namun sebagaimana dikemukakan terdahulu karena jumlah penduduk/keluarga yang perlu dipindahkan makin lama makin besar, maka dirasakan perlu adanya kelembagaan khusus yang menangani masalah pemindahan ini sehingga munculah institusi Departemen Transmigrasi yang sebelumnya berbentuk Kantor Menteri Muda Transmigrasi.
Dalam perjalanannya, program transmigrasi banyak menimbulkan pro dan kontra. Tidak sedikit analisis memperlihatkan bahwa program ini tidak efisien dan kurang berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan penduduk. Banyak pihak menyimpulkan bahwa program pengarahan penyebaran penduduk lebih baik dilakukan secara tidak langsung (indirect) melalui pengaturan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daripada mengembangkan kebijakan langsung (direct). Di dalam institusi transmigrasi sendiri berkembang kerangka pikir bagaimana mengkaitkan program ini dengan pembangunan daerah. Karena itulah institusi transmigrasi kembali dikaitkan dengan pembangunan ketenagakerjaan.
Disamping aspek penyebaran penduduk, pemerintah sejak awal Orde Baru mulai memperhatikan aspek pertumbuhan penduduk. Jika pada masa sebelumnya pemerintah beranggapan bahwa jumlah penduduk yang besar justru berdampak positif pada pembangunan bangsa, maka pemerintah Orde Baru melihat bahwa dengan kondisi kualitas yang rendah jumlah penduduk yang besar justru menjadi beban pembangunan dan karenanya harus dikendalikan. Karena itulah pemerintah kemudian mengembangkan institusi lembaga keluarga berencana nasional (LKBN) dan kemudaian menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Perhatian terhadap aspek pengendalian pertumbuhan penduduk secara konsisten terus diberikan sampai saat ini.
Dari uraian di atas pemerintah secara konsisten telah berupaya membangun penduduk agar menjadi sumber daya manusia atau pelaku pembangunan yang andal. Secara konsisten pemerintah berupaya untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dan mengarahkan persebaran penduduk.
Dimensi kedua dari keterkaitan antar kependudukan dan pembangunan mulai mendapatkan perhatian sejak kabinet pembangunan IV (1988). Berbagai analisa dan pemikiran dari mereka yang banyak menggeluti studi pembangunan mendorong pemerintah untuk mulai memperhatikan dimensi kependudukan dalam arti yang lebih luas (tidak hanya pembangunan kependudukan itu sendiri) kedalam manistream pemabngunan nasional. Pada kabinet pembangunan IV tersebut mulai dibentuk institusi kependudukan yang tugas dan fungsinya antara lain mengemabngkan kebijakan kependudukan dan mengintegrasikan kebijakan tersebut kedalam kebijakan pemabngunan nasional. Oleh karena bidang kependudukan bersifat lintas sektor maka bentuk institusi yang dirasakan sangat tepat utuk itu adalah Menteri Negara. Jika dilihat dalam perspektif kilas balik maka format Menteri Negara nampaknya memang merupakan format yang paling tepat untuk bidang kependudukan.
Pada masa itu, institusi Menteri Negara yang membidangi kependudukan (Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan hidup) mengembangkan format pembangunan kependudukan di Indonesia melalui berbagai kebijakan serta berupaya merangkul berbagai pihak untuk menyebarluaskan konsep pembangunan berwawasan kependudukan. Pada waktu itu dikemabngkan segitiga “Emil Salim” yaitu Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup-Pusat Studi Kependudukan-pemerintah Daerah (BKLH). Kantor Menteri Negara KLH lebih berfungsi sebagai pengembang kebijakan  makro didukung oleh Lembaga Universitas (PSK) untuk kemudian diterjemahkan kedalam program oleh Pemerintah Daerah (BKLH).
Format institusi kemudia mengalami perubahan pada kabinet pemabngunan VI (1993-1998) dimana kependudukan kemudian bergabung dengan salah satu institusi implementasi pembangunan kependudukan yaitu BKKBN. Disini mulai timbul keracuan dimana kebijakan kependudukan yang bersifat lintas sktor yang dihasilkan oleh kantor Menteri Negara Kependudukan seringkali kemudian langsung diimplementasikan oleh BKKBN. Pada masa itu BKKBN yang pada awalnya berperan sebagai institusi pengendalian pertumbuhan penduduk dan peningkatan kesejahteraan keluarga mulai masuk dalam bidang persebaran penduduk (ingat program Banggasukadesa).
Dalam kabinet reformasi dibawah pimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid institusi kependudukan kemudian sempat digabung dengan transmigrasi (Meneg. Transkep) dan malah untuk beberapa waktu muncul sebagai suatu badan yang bersifat implementasi (Baknas). Penggabungan institusi kependudukan dengan institusi implementasi dan bahkan membentuk kependudukan sebagai institusi implementasi sebenarnya mempersempit arti kependudukan itu sendiri. Pada Kabinet Gotong Royong saat ini institusi kependudukan malah tidak mendapat tempat sama sekali, malah kelembagaannya dihapuskan. Tanpa menyadari bahwa Indonesia merupakan negara keempat dengan jumlah penduduk terbesar di Dunia, serta berpeluang menjadi tuan rumah Konperensi Kependudukan se Dunia pada tahun 2004 (Cairo + 10).

Bagaimana Ke Depan?

Krisis ekonomi saat ini memberi pelajaran bahwa pembangunan yang mengejar pertumbuhan dan dilakukan tanpa melihat kondidi dan potensi penduduk, tidak akan bersifat berkesinambungan. Pada masa dan pasca krisis ekonomi, perhatian terhadap masalah kependudukan harus tetap dilakukan, terutama menyangkut upaya mengembangkan pembangunan berwawasan kependudukan (people-centered-development). Ketidak pedulian terhadap isu pembangunan berwawasan kependudukan akan menyebabkan Indonesia kembali menghadapi situasi krisis yang sama pada beberapa tahun mendatang. Justru perkembangan ini perlu diwaspadai, bahkan harus dihindarkan semampu mungkin.
Pembangunan kependudukan (pembangunan sumber daya manusia) dan pemabngunan berwawasan kependudukan harus tetap terus dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan integrasinya kedalam berbagai sektor pembangunan terutama yang berkaitan dengan sektor ekonomi. Jika selam ini kependudukan lebih dititik beratkan pada sektor sosial dalam kerangka pembangunan nasional, saat ini perlu dipikirkan untuk mengintegrasikan pembangunan kependudukan kedalam sektor EKUIN.
Oleh karena itu kewenangan pembangunan kependudukan seperti pengendalian pertumbuhan penduduk, pengarahan dan persebaran mobilitas penduduk serta peningkatan kualitas penduduk dan didukung dengan sistem administrasi dan informasi kependudukan yang andal harus tetap dipertahankan. Dalam era otonomi, pemerintah pusat dan daerah harus tetap memperhatikan isu-isu diatas. Oleh karenanya, lembaga yang khusus menangani kebijakan kependudukan harus tetap ada. Terutama pada Pemerintah Pusat.
Dalam hal pembangunan kependudukan, penetapan kewenangan perlu diikuti dengan kelembagaan operasional yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Dinas kpendudukan yang menangani masalah administrasi kependudukan merupakan salah satunya. Demikian pula dapat saja dibentuk Dinas Keluarga Berencana yang khusus menangani masalah pengendalian pertumbuhan penduduk. Namun sekali lagi bentuk kelembagaan tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan daerah masing-masing.
Disamping kelembagaan yang sifatnya operasional dalam hal pembangunan kependudukan, perlu pula dikembangkan kelembagaan yang bersifat kebijakan. Kelembagaan ini dimaksudkan untuk mengembangkan serta memantau pelaksanaan kebijakan makro kependudukan serta bagaimana mengintegrasikan kebijakan tersebut kedalam berbagai sektor yang ada. Pada tingkat daerah kelembagaan ini dapat saja berupa Biro Kependudukan sebagaimana pernah ada pada Kabinet Pembangunan IV sampai dengan VI dulu. Secara garis besar kelembagaan tersebut diharapkan berfungsi untuk:
1.                  Memberikan masukan kepada pemerintah pusat dalam menyusun perencanaan makro mengenai strategi pengembangan sumber daya manusia (kependudukan) di daerahnya. Pemerintah daerah dengan berbagai jajarannya merupakan institusi yang sangat mengetahui masalah yang dihadapi oleh daerah masing-masing;
2.                  Membuat perencanaan yang baik untuk daerah masing-masing (yang akan dituangkan dalam Repelita Daerah dan APBD) mengenai startegi peningkatan sumber daya manusia berdasarkan paada analisa SWOT. Ini diperlukan untuk mengetahui kondisi, kekuatan serta kelemahan yang ada atau yang dimiliki;
3.                  Mengimplementasikan perencanaan makro yang telah disusun secara nasional dengan melakukan modifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lokal;
4.                  Menggalang hubungan dan koordinasi yang baik dengan pihak swasta dan masyarakat dalam upaya peningkatan sumber daya manusia. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah, maka partisipasi swasta dan masyarakat mutlak diperlukan untuk melanjutkan proses pembangunan;
5.                  Mengembangkan sistem pemantauan, pengawasan dan evaluasi program peningkatan sumber daya manusia yang sitematis dan terencana. Perlu dicatat disini bahwa sistem pemantauan dan evaluasi dalam satu siklus organisasi merupakan hal yang sering dilupakan, padahal sangat penting. Tanpa adanya pemantauan, pengawasan dan evaluasi yang baik, kemajuan, kemunduran atau penyimpangan program sukar untuk diketahui. Disamping itu tanpa adanya evaluasi yang baik, perencanaan berikutnya akan sulit untuk dirumuskan dengan baik.

Pada tingkat pusat jika memang pembangunan kependudukan dipandang penting (seharusnya memang demikian) maka perlu dikembangkan lembaga non operasional untuk menangani hal tersebut. Bentuk kelembagaan itu dapat saja Menteri Negara atau suatu komisi atau Dewan yang langsung berada dibawah Presiden atau Wakil Presiden. Tugas kelembagaan ini adalah memberikan saran kebijakan kepada pemerintah dalam hal pembangunan kependudukan serta upaya sinkronisasi kebijakan pembangunan (terutama ekonomi) yang berwawasan kependudukan. Lebih baik lagi kalau dalam perbaikan struktur pemerintahan segera dibentuk kembali Kantor Mnteri Negara Kependudukan atau Badan setingkat LPND lagi.

Penutup

Pada masa pasca krisis ekonomi daerah, perhatian terhadap masalah kependudukan harus tetap dilakukan, tertuma menyangkut upaya mengembangkan pembanngunan berwawasan kependudukan (people centered development). Ketidak pedulian terhadap isu pembangunan berwawasan kependudukan akan menyebabkan Indonesia kembali menghadapi krisis yang sama pada beberapa tahun mendatang. Justru perkembangan ini perlu diwaspadai, bahkan harus dihindarkan semampu mungkin.
Kondisi keuangan negara yang semakin terbatas dan tuntutan politik dalam dan luar negeri, perencanaan pembangunan yang bersifat ‘bottom-up’ menjadi sangat penting. Dalam hal ini masing-masing daerah dituntut harus dapat memanfaatkan keuangan negara yang semakin terbatas untuk mencapai tujuan pembangunan yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya.
Kuncinya adalah bagaimana para perencana pembangunan di daerah dapat mengalokasikan dana tersebut secara tepat sesuai dengan prioritas kebutuhan yang ada. Salah satu aspek yang harus ditelaah adan dijadikan patokan dalam melihat dan menentukan skala prioritas pembangunan adalah bagaimana kondisi perkembangan kependudukan yang ada di daerah tersebut. Tanpa melihat faktor kependudukan tersebut maka pembangunan yang ada tidak akan dapat dinikmati oleh masyarakat setempat.
Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan terbukti tidak langsung secara berkesinambungan dan tidak dinikmati oleh seluruh masyarakat sehingga filosofi penduduk sebagai subyek dan obyek pembangunan tidak tercapai. Pembangunan tidak dirasakan sebagai milik rakyat, sehingga tidak mengakar. Apa yang terjadi kemudian adalah jika terjadi sedikit gejolak (seperti apa yang dialami sekarang ini), maka gejolak tersebut menjadi sulit untu diatasi dan masyarakat menjadi kurang berpartisipasi dalam mengatasi gejolak yang ada. Hal ini disebabkan mereka tidak merasa memiliki.
Oleh karena itu apa yang terjadi saat ini kiranya menjadi pelajaran yang sangat berharga, terutama bagi perencana dan pelaksana pembangunan didaerah tingkat II sebagai ujung tombak pembangunan nasional dimasa mendatang. Agar kiranya dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan, harus melihat pada kondisi dan kebutuhan nyata yang ada pada masyarakat didaerah masing-masing. Tidak perlu selalu berpatokan dari apa yang terjadi di daerah lain, atau bahkan menunggu arahan pusat.
Bagaimana bentuk kelembagaan yang menangani masalah kependudukan di daerah yaitu aspek pembangunan kependudukan itu sendiri serta pembangunan berwawsan kependudukan, sangat tergantung pada kondisi dan kemampuan masing-masing daerah. Namun yang pasti adalah ketidak pedulian kita pada aspek ini akan berdampak buruk pada pembangunan nasional dimasa mendatang dan kehidupan generasi mendatang§

Daftar Bacaan


Ananta, Aris, Ismail Budhiarso dan Turro S. Wongkaren. 1995, “Revolusi Demografi dan Peningkatan Sumberdaya Manusia”, dalam buku Prospek Ekonomi Indonesia Jangka Pendek: Sumberdaya, Teknologi dan Pembangunan, editor Mohamad Arsyad Anwar, Faisal H. Basri, Mohamad Ikhsan. Jakarta: Kerjasama Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dengan penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Hal Hill, 1996, Transformasi Ekonomi Indonesia sejak 1966: Sebuah Studi Kritis dan Konprehensif, PAU (Studi Ekonomi) UGM & PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Iskandar,N: 1974, Beberapa Aspek Permasalahan Kependudukan di Indonesia, special Reprint Series No. 4, Demographic institute FEUI Jakarta, January 1974, p.19
Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, 1994, Indonesia Country Report Population and Development, Jakarta, Indonesia
Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, 1997, Draft Repelita VII Bidang Kependudukan, Jakarta, 1997
Krugman, Paul, 1997, “The Myth  to Asia Miracle”, Fortune, November 1994 Foreign Affairs
Krugman, Paul, 1997, “What Happened to Asia Miracle”, Fortune, 18 November 1997.
Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN, 1997, Strategi Kebijaksanaan Kependudukan, ceramah di SESKO ABRI, Bandung 6 Nopember 1998
Moeljarto Tjokrowinoto, 1996, Pembangunan: Dilema dan Tantangan, Pustaka Pelajar, Jakarta
Prijono Tjiptoherijanto, 1997, Migrasi, Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia, Kumpulan makalah terbitan UI Press, Jakarta.
Prijono Tjiptoherijanto, 1999, “Economic Crisis and Recovery: the Indonesia’s Case” makalah disampaikan pada “The EWCA Regional Conference in the Philippines on Asia and the Pacific in the Millenium: Challenges, Opportunities & Responses”, Manila, Philippines, 28-29 January


1     Sejauh ini walaupun disebutkan dalam GBHN bahwa pembangunan nasional adalah pembangunan sumber daya manusia seiring dengan pembangunan ekonomi, namun dalam kenyataannya pembangunan nasional masih terlalu terfokus pada pembangunan ekonomi. Di samping itu, nampak jelas bahwa pemilihan sasaran pembangunan ekonomi, khususnya pengembangan industri, dalam banyak kasus tidak memperhatikan dan memperhitungkan kondisi kependudukan yang ada.
2     Dengan demikian nampak jelas bahwa pada tataran kebijakan, pembangunan kependudukan dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mengembangkan kebijakan dan program yang dapat mempengaruhi kondisi kependudukan. Program keluarga berencana adalah contoh yang paling jelas, dimana melalui program tersebut diupayakan pengendalian kelahiran penduduk menuju kondisi yang diinginkan. Sedangkan pada tataran implementasi dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mengintegrasikan isu-isu kependudukan ke dalam program pembangunan sektoral atau yang lebih dikenal di kalangan perencana pembangunan atau ahli kependudukan sebagai “pembangunan berwawasan kependudukan” (population/people oriented development)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar