Fauzana, SE, M.Pd.IPendahuluanAda beberapa prinsip yang harus diingat untuk mengembangkan kelembagaan dalam sistem birokrasi yang baik, pertama, kelembagaan harus dibentuk mengikuti kewenangan yang ada dan bukan sebaliknya kewenangan dikembangkan berdasarkan kelembagaan yang tersedia. Kedua, kewenangan yang ada bukan berarti harus diikuti dengan pembentukan suatu kelembagaan yang utuh, namun perlu dikaji dengan seksama bentuk kelembagaan yang sesuai untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Ketiga, dalam birokrasi modern berlaku prinsip efisiensi yaitu jumlah lembaga pemerintah diupayakan “seramping” mungkin. Prinsip efisiensi ini di dasarkan pada pertimbangan bahwa tidak seluruh masalah harus diurus oleh pemerintah serta pemerintah lebih berperan sebagai “pengarah” daripada ‘pelaksana’. Oleh karena itu pembahasan kelembagaan kependudukan dalam era otonomi, sebagaimana topik bahasan pada saat ini, harus berada dalam konteks ketiga prinsip di atas.Pembahasan akan dibagi dalam beberapa bagian, pertama, peran kependudukan dalam pembangunan nasional. Pada bagian ini ditelaah seberapa jauh sebenarnya pembangunan berwawasan kependudukan berpengaruh pada pembangunan nasional, serta apa yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembangunan berwawasan kependudukan. Kedua, adalah kilas balik untuk melihat bagaimana pandangan pemerintah Indonesia selama ini dalam melihat pembangunan kependudukan dalam konteks dengan pembangunan nasional. Pada bagian ini juga akan dibahas berbagai perubahan kelembagaan kependudukan di Indonesia dan latar belakangnya. Bagian selanjutnya adalah pembahasan tentang kemana arah pembangunan nasional kedepan dan bagaimana kaitannya dengan pembangunan kependudukan. Pada bagian ini juga dibahas bagaimana kiranya bentuk kelembagaan kependudukan pada masa mendatang dikaitkan dengan arah pembangunan nasional.
Dimensi Kependudukan dalam Pembangunan Nasional
Dimensi kependudukan dalam pembangunan nasional dapat dilihat dalam dua sisi, yaitu: (1) bagaimana mengintegrasikan aspek kependudukan dalam perencanaan pembangunan nasional dan (2) pembangunan kependudukan itu sendiri. Sisi pertama merupakan penjabaran dari pembangunan berwawasan kependudukan merujuk pada konsep agar perencanaan pembangunan (baca pembangunan ekonomi) harus memeperhatikan dinamika kependudukan yang ada. Sisi kedua merujuk pada bagaimana membangun penduduk itu sendiri agar dapat menjadi pelaku-pelaku pemabngunan yang andal. Dalam hal ini bagaimana mengendalikan pertumbuhan penduduk, mengarahkan mobilitas penduduk, meningkatkan kualitas penduduk dan didukung dengan sistem informasi kependudukan yang andal.Ada beberapa alasan yang melandasi pemeikiran bahwa kependudukan merupakan isu yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional, antara lain adalah:Pertama, kependudukan, atau dalam hal ini adalah penduduk, merupkan pusat dari seluruh kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan. Dalam GBHN dengan jelas dikemukakan bahwa penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Sebaliknya, pembangunan juga harus dapat dinikmati oleh penduduk yang bersangkutan. Dengan demikian jelas bahwa pembangunan harus dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan tersebut. Sebaliknya, pemabngunan tersebut baru dapat dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang luas.Kedua, keadaan atau kondisi keendudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai, akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan tingkat kualitas yang rendah, menjadikan penduduk tersebut hanya sebagai beban bagi pemabngunan nasional. Iskandar (1974) memperkirakan bahwa tanpa adanya program pengendalian pertumbuhan penduduk maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1995 akan berjumlah 237 juta jiwa. Kenyataannya jumlah penduduk pada tahun tersebut adalah sekitar 194 juta jiwa. Dengan demikian program pengendalian pertumbuhan penduduk telah berhasil melakukan ‘saving’ untuk bebagai pengeluaran bagi sekitar 43 juta jiwa penduduk Indonesia. Pengeluaran tersebut dialihkan kepada program lain yang bermanfaat untuk peningkatan kualitas penduduk seperti kesehatan dan pendidikan.Ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang. Karena dampaknya baru terasa dalam jangka waktu yang panjang tersebut, seringkali peran penting penduduk dalam pembangunan terabaikan. Sebagai contoh, beberapa ahli kesehatan memeperkirakan bahwa krisis ekonomi dewasa ini akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan seseorang pada 25 tahun kedepan atau satu generasi. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia pada generasi mendatang, 25 tahun setelah tahun 1997. demikian pula, hasil program keluarga berencana yang dikembangkan selama 30 tahun yang lalu (1968), baru dapat dinikmati dalam beberapa tahun terakhir ini. Dengan demikian, tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam kerangka pembangunan nasional sama artinya dengan ‘ Menyengsarakan’ generasi berikutnya.Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?. Jargon pemabangunan berwawasan kependudukan sudah lama didengar dalam bentuk atau format lain. Sudah lama didengung-dengungkan mengenai penduduk sebagai sunyek dan obyek pembangunan. Atau jargon mengenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Atau pembangunan bagi segenap rakyat. Konsep “pembangunan manusia seutuhnya”, yang tidak lain adalah konsep “pembangunan kependudukan”, mulai diterapkan dalam perencanaan pembangunan Indonesia yang sistematis dan terarah sejak Repelita I pada tahun 1969. namun sedemikian jauh, walaupun pada tataran kebijakan telah secara sungguh-sungguh mengembangkan konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan, pemerintah nanmpaknya belum dapat secara optimal mengimplementasikan dan mengintegrasikan kebijakan tersebut dalam berbagai program sektoral.1 Banyak sekali hambatan yang masih terjadi dalam mengimplementasikan pembangunan berwawasan kependudukan.Mengapa selama ini Indonesia kurang serius dalam menangani pemabngunan berwawasan kependudukan?. Hal ini tidak lain karena keinginan pemerintah untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang harus senantiasa tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan pemabangunan nasional. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, namun pada kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional.Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk yang ada nyatanya tidaklah berlangsung secara berkesinambungan (sustained). Jika dikatkan dengan krisis ekonomi dewasa ini, terjadinya krisis tersebut tidak lepas dari kebijakan ekonomi yang kurang mengindahkan dimensi kependudukan. Strategi ekonomi makro yang tidak dilandasi pada situasi/kondisi ataupun potensi kependudukan yang ada menyebabkan pembangunan ekonomi tersebut menjadi sangat rentan terhadap perubahan. Belum terjadi strategi pembangunan yang berorientasi serius pada aspek kependudukan selama ini.
Beberapa Persyaratan Dalam Mengimplementasikan Pembangunan Berwawasan KependudukanPembangunan berwawasan kependudukan menuntut pada strategi pembangunan yang bersifat ‘bottom-up planing’. Melalui pendekatan ini, tujuan utama seluruh proses pembangunan adalah lebih memeratakan kesejahteraan penduduk daripada mementingkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Karena itu pendekatan ‘bottom-up’ berupaya mengoptimalkan penyebaran sumber daya yang dimiliki dan potensial keseluruh wilayah dan membangun sesuai dengan potensi dan masalah khusus yang dihadapi oleh daerah masing-masing.Ketimpangan tingkat pembangunan antar daerah menyebabkan penduduk terdorong atau tertarik untuk melakukan pergerakan dari satu daerah kedaerah lainnya. Oleh karena itu pemabngunan daerah perlu diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar daerah perkotaan dan daerah perdesaan, serta mampu membuka daerah terisolasi dan mempercepat pembangunan kawasan yang tertinggal seperti Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sebagai contoh, adanya mobilatas penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan mencerminkan perbedaan pertumbuhan ketidak merataan fasilitas pembangunan antar daerah perdesaan dan daerah perkotaan. Selama masih terdapat perbedaan tersebut, mobilitas penduduk akan terus berlangsung. Apalagi telah menjadi kenyataan yang secara umum diketahui bahwa pada beberapa negara berkembang, konsentrasi investasi dan sumber daya pada umumnya berada di daerah perkotaan.Kenyataan tersebut makin diperburuk karena perencanaan pembangunan di negara-negara berkembang lebih didominasi oleh pendekatan ‘dari atas’. Strategi pembangunan semacam itu didasarkan pada tujuan utama dari pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena itu proses pembangunan terutama dipusatkan pada sektor industri didaerah perkotaan, menekankan pada kegiatan ekonomi padat modal dan teknologi tinggi. Perluasan industri cenderung diikuti dengan kebijakan substitusi impor dalam rangka meningkatkan kemandirian ekonomi nasional.Saat ini banyak pemerintah di negara-negara berkembang mengikuti aliran ‘bottom-up planning’ dengan maksud lebih menyeimbangkan pelaksanaan pembangunan, dalam arti memanfaatkan ruang dan sumber daya secara lebih efisien. Pendekatan “bottom-up” mengisyaratkan kebebasan daerah wilayah untuk merencanakan pembangunan sendiri sesuai dengan keperluan dan keadaan daerah masing-masing. Oleh karena itu otonomi yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masing-masing daerah agar mampu mengatur dan menjalankan berbagai kebijakan yang dirumuskan sendiri guna peningkatan kesejahteraan masyarakat didaerah atau kawasan yang bersangkutan. Melalui otonomi daerah, yang berarti adalah desentralisasi pembangunan, maka laju pertumbuhan antar daerah akan semakin seimbang dan serasi, sehingga pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya semakin merata diseluruh Indonesia.Beberapa kata kunci yang perlu diberikan penekanan pada pemabngunan daerah adalah (1) pemabngunan daerah disesuaikan dengan prioritas dan potensi masing-masing daerah, dan (2) adanya keseimbangan pembangunan anatar daerah. Kata kunci pertama mengandung makna pada kesadaran pemerintah untuk melakukan desentralisasi pemabngunan terutama berkaitan dengan beberapa sektor pembangunan yang dipandang sudah mampu dilaksanakan di daerah masing-masing. Berarti pengambilan keputusan pemabngunan berada pada tingkat daerah.Kata kunci kedua mengandung makna adanya kenyataan bahwa masing-masing daerah memiliki potensi, baik alam, sumber daya manusia maupun kondisi geografis yang berbeda-beda, yang menyebabkan ada daerah yang memiliki potensi untuk berkembang secara cepat dan sebaliknya ada daerah yang kurang dapat berkembang karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Adanya perbedaan potensi antar daerah ini menyebabkan peran pemerintah pusat sebagai ‘pengatur kebijakan pembangunan nasional’ tetap diperlukan agar timbul keselarasan, keseimbangan dan keserasian perkembangan semua daerah, baik yang memiliki potensi yang berlebihan maupun yang kurang memiliki potensi. Dengan demikian, melalui otonomi dalam pengaturan pendapatan, sistem pajak, keamanan warga, sistem perbankan dan bebagai pengaturan lain yang diputuskan daerah sendiri, pembangunan setempat dijalankan.Demikian pula diupayakan tersedianya data kependudukan yang memadai untuk keperluan perencanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan. Data ini diperlukan baik untuk pembangunan kependudukan maupun pembangunan nasional pada umumnya melalui administrasi, pencatatan, dan statistik penduduk dalam rangka penyempurnaan sistem informasi kependudukan. Penyempurnaan sistem informasi kependudukan diupayakan melalui peningkatan persamaan persepsi antar sektor terkait dalam peggunaan standar data dan informasi yang menjadi acuan dalam perencanaan pemabngunan yang berwawasan kependudukan dan keluarga. Peningkatan pemasyarakatan kesepakatan istilah-istilah dalam bidang kependudukan dan keluarga, baik yang menyangkut pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas, dan pengarahan mobilitasnya. Peningkatan pengembangan kerjasama kelembagaan dan pembinaan pusat-pusat penelitian dan pengajian kependudukan yang dikelola oleh perguruan tinggi, maupun lembaga swadaya dan organisasi masyarakat, sebagai penganalisis data kependudukan.Nampaknya ketidak berhasilan Indonesia dalam mengimplementasikan pembangunan berwawsan kependudukan disamping beberapa faktor yang telah disebutkan terdahulu (strategi pembangunan yang lebih menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi), juga terkait dengan sistem pemerintahan yang sentralisasi selama ini. Hampir seluruh kebijakan “dikendalikan” dari pusat dengan sedikit sekali melihat perbedaan kondisi pada masing-masing wilayah.
Kilas Balik Pembangunan Kependudukan Di Indonesia
Sebagaimana dikemukan terdahulu, keterkaitan antara kependudukan dan pembangunan harus dilihat dalam 2 dimensi, yaitu: (1) bagaimana membangun penduduk agar menjadi sumber daya manusia yang andal atau dikenal dengan istilah pembangunan kependudukan, dan (2) begaimana mengintegrasikan isu kependudukan kedalam ‘mainstream’ pembangunan nasional atau mengembangkan pembangunan berwawasan kependudukan.Keterkaitan tersebut juga harus dilihat pada tataran kebijakan dan imlementasi. Pada tataran kebijakan, analisa diarahkan untuk meliahat sampai seberapa jauh ‘political will’ pemerintah untuk mengintegrasikan isu-isu kependudukan dalam kebijakan pembangunan nasional. Selanjutnya pada tataran implementasi, dapat dilihat seberapa jauh kebijakan tersebut diimplementasikan dalam program-program sektoral.2Pemerintah sejak awal kemerdekaan sudah mulai memperhatikan aspek kependudukan dalam perencanaan pembangunan. Tentu saja implementasi dari perhatian ini disesuaikan dengan kondisi pada masa itu. Program pemindahan penduduk dari daerah padat ke daerah kurang padat misalnya sudah mulai bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Program transmigrasi yang pertama kali dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tercatat pada tahun 1951 ( Prijono Tjiptoherijanto, 1997, hal 102).Program transmigrasi pada awalnya lebih dilihat oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja pada daerah-daerah yang jarang penduduknya. Dalam terminologi ilmu kependudukan model seperti ini sering disebut sebagai kebijakan perpindahan penduduk yang langsung (direct policy). Karena jumlah penduduk yang dipindahkan makin lama makin banyak maka pemerintah kemudian memandang perlu mengembangkan suatu institusi yang khusus menangani masalah pemindahan penduduk tersebut. Kemudian munculah kelembagaan transmigrasi. Kelembagaan yang mengurusi transmigrasi ini mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan konsep transmigrasi yang dianut pada kurun waktu tertentu. Pada awalnya program transmigrasi dikaitkan dengan isu ketenagakerjaan dan upaya membina para transmigran agar menjadi pelaku-pelaku ekonomi didaerah tujuan dan oleh karenanya dibentuklah kelembagaan Transkopemada dan kemudian menjadi Nakertranskop. Namun sebagaimana dikemukakan terdahulu karena jumlah penduduk/keluarga yang perlu dipindahkan makin lama makin besar, maka dirasakan perlu adanya kelembagaan khusus yang menangani masalah pemindahan ini sehingga munculah institusi Departemen Transmigrasi yang sebelumnya berbentuk Kantor Menteri Muda Transmigrasi.Dalam perjalanannya, program transmigrasi banyak menimbulkan pro dan kontra. Tidak sedikit analisis memperlihatkan bahwa program ini tidak efisien dan kurang berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan penduduk. Banyak pihak menyimpulkan bahwa program pengarahan penyebaran penduduk lebih baik dilakukan secara tidak langsung (indirect) melalui pengaturan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daripada mengembangkan kebijakan langsung (direct). Di dalam institusi transmigrasi sendiri berkembang kerangka pikir bagaimana mengkaitkan program ini dengan pembangunan daerah. Karena itulah institusi transmigrasi kembali dikaitkan dengan pembangunan ketenagakerjaan.Disamping aspek penyebaran penduduk, pemerintah sejak awal Orde Baru mulai memperhatikan aspek pertumbuhan penduduk. Jika pada masa sebelumnya pemerintah beranggapan bahwa jumlah penduduk yang besar justru berdampak positif pada pembangunan bangsa, maka pemerintah Orde Baru melihat bahwa dengan kondisi kualitas yang rendah jumlah penduduk yang besar justru menjadi beban pembangunan dan karenanya harus dikendalikan. Karena itulah pemerintah kemudian mengembangkan institusi lembaga keluarga berencana nasional (LKBN) dan kemudaian menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Perhatian terhadap aspek pengendalian pertumbuhan penduduk secara konsisten terus diberikan sampai saat ini.Dari uraian di atas pemerintah secara konsisten telah berupaya membangun penduduk agar menjadi sumber daya manusia atau pelaku pembangunan yang andal. Secara konsisten pemerintah berupaya untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dan mengarahkan persebaran penduduk.Dimensi kedua dari keterkaitan antar kependudukan dan pembangunan mulai mendapatkan perhatian sejak kabinet pembangunan IV (1988). Berbagai analisa dan pemikiran dari mereka yang banyak menggeluti studi pembangunan mendorong pemerintah untuk mulai memperhatikan dimensi kependudukan dalam arti yang lebih luas (tidak hanya pembangunan kependudukan itu sendiri) kedalam manistream pemabngunan nasional. Pada kabinet pembangunan IV tersebut mulai dibentuk institusi kependudukan yang tugas dan fungsinya antara lain mengemabngkan kebijakan kependudukan dan mengintegrasikan kebijakan tersebut kedalam kebijakan pemabngunan nasional. Oleh karena bidang kependudukan bersifat lintas sektor maka bentuk institusi yang dirasakan sangat tepat utuk itu adalah Menteri Negara. Jika dilihat dalam perspektif kilas balik maka format Menteri Negara nampaknya memang merupakan format yang paling tepat untuk bidang kependudukan.Pada masa itu, institusi Menteri Negara yang membidangi kependudukan (Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan hidup) mengembangkan format pembangunan kependudukan di Indonesia melalui berbagai kebijakan serta berupaya merangkul berbagai pihak untuk menyebarluaskan konsep pembangunan berwawasan kependudukan. Pada waktu itu dikemabngkan segitiga “Emil Salim” yaitu Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup-Pusat Studi Kependudukan-pemerintah Daerah (BKLH). Kantor Menteri Negara KLH lebih berfungsi sebagai pengembang kebijakan makro didukung oleh Lembaga Universitas (PSK) untuk kemudian diterjemahkan kedalam program oleh Pemerintah Daerah (BKLH).Format institusi kemudia mengalami perubahan pada kabinet pemabngunan VI (1993-1998) dimana kependudukan kemudian bergabung dengan salah satu institusi implementasi pembangunan kependudukan yaitu BKKBN. Disini mulai timbul keracuan dimana kebijakan kependudukan yang bersifat lintas sktor yang dihasilkan oleh kantor Menteri Negara Kependudukan seringkali kemudian langsung diimplementasikan oleh BKKBN. Pada masa itu BKKBN yang pada awalnya berperan sebagai institusi pengendalian pertumbuhan penduduk dan peningkatan kesejahteraan keluarga mulai masuk dalam bidang persebaran penduduk (ingat program Banggasukadesa).Dalam kabinet reformasi dibawah pimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid institusi kependudukan kemudian sempat digabung dengan transmigrasi (Meneg. Transkep) dan malah untuk beberapa waktu muncul sebagai suatu badan yang bersifat implementasi (Baknas). Penggabungan institusi kependudukan dengan institusi implementasi dan bahkan membentuk kependudukan sebagai institusi implementasi sebenarnya mempersempit arti kependudukan itu sendiri. Pada Kabinet Gotong Royong saat ini institusi kependudukan malah tidak mendapat tempat sama sekali, malah kelembagaannya dihapuskan. Tanpa menyadari bahwa Indonesia merupakan negara keempat dengan jumlah penduduk terbesar di Dunia, serta berpeluang menjadi tuan rumah Konperensi Kependudukan se Dunia pada tahun 2004 (Cairo + 10).
Bagaimana Ke Depan?
Krisis ekonomi saat ini memberi pelajaran bahwa pembangunan yang mengejar pertumbuhan dan dilakukan tanpa melihat kondidi dan potensi penduduk, tidak akan bersifat berkesinambungan. Pada masa dan pasca krisis ekonomi, perhatian terhadap masalah kependudukan harus tetap dilakukan, terutama menyangkut upaya mengembangkan pembangunan berwawasan kependudukan (people-centered-development). Ketidak pedulian terhadap isu pembangunan berwawasan kependudukan akan menyebabkan Indonesia kembali menghadapi situasi krisis yang sama pada beberapa tahun mendatang. Justru perkembangan ini perlu diwaspadai, bahkan harus dihindarkan semampu mungkin.Pembangunan kependudukan (pembangunan sumber daya manusia) dan pemabngunan berwawasan kependudukan harus tetap terus dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan integrasinya kedalam berbagai sektor pembangunan terutama yang berkaitan dengan sektor ekonomi. Jika selam ini kependudukan lebih dititik beratkan pada sektor sosial dalam kerangka pembangunan nasional, saat ini perlu dipikirkan untuk mengintegrasikan pembangunan kependudukan kedalam sektor EKUIN.Oleh karena itu kewenangan pembangunan kependudukan seperti pengendalian pertumbuhan penduduk, pengarahan dan persebaran mobilitas penduduk serta peningkatan kualitas penduduk dan didukung dengan sistem administrasi dan informasi kependudukan yang andal harus tetap dipertahankan. Dalam era otonomi, pemerintah pusat dan daerah harus tetap memperhatikan isu-isu diatas. Oleh karenanya, lembaga yang khusus menangani kebijakan kependudukan harus tetap ada. Terutama pada Pemerintah Pusat.Dalam hal pembangunan kependudukan, penetapan kewenangan perlu diikuti dengan kelembagaan operasional yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Dinas kpendudukan yang menangani masalah administrasi kependudukan merupakan salah satunya. Demikian pula dapat saja dibentuk Dinas Keluarga Berencana yang khusus menangani masalah pengendalian pertumbuhan penduduk. Namun sekali lagi bentuk kelembagaan tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan daerah masing-masing.Disamping kelembagaan yang sifatnya operasional dalam hal pembangunan kependudukan, perlu pula dikembangkan kelembagaan yang bersifat kebijakan. Kelembagaan ini dimaksudkan untuk mengembangkan serta memantau pelaksanaan kebijakan makro kependudukan serta bagaimana mengintegrasikan kebijakan tersebut kedalam berbagai sektor yang ada. Pada tingkat daerah kelembagaan ini dapat saja berupa Biro Kependudukan sebagaimana pernah ada pada Kabinet Pembangunan IV sampai dengan VI dulu. Secara garis besar kelembagaan tersebut diharapkan berfungsi untuk:1. Memberikan masukan kepada pemerintah pusat dalam menyusun perencanaan makro mengenai strategi pengembangan sumber daya manusia (kependudukan) di daerahnya. Pemerintah daerah dengan berbagai jajarannya merupakan institusi yang sangat mengetahui masalah yang dihadapi oleh daerah masing-masing;2. Membuat perencanaan yang baik untuk daerah masing-masing (yang akan dituangkan dalam Repelita Daerah dan APBD) mengenai startegi peningkatan sumber daya manusia berdasarkan paada analisa SWOT. Ini diperlukan untuk mengetahui kondisi, kekuatan serta kelemahan yang ada atau yang dimiliki;3. Mengimplementasikan perencanaan makro yang telah disusun secara nasional dengan melakukan modifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lokal;4. Menggalang hubungan dan koordinasi yang baik dengan pihak swasta dan masyarakat dalam upaya peningkatan sumber daya manusia. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah, maka partisipasi swasta dan masyarakat mutlak diperlukan untuk melanjutkan proses pembangunan;5. Mengembangkan sistem pemantauan, pengawasan dan evaluasi program peningkatan sumber daya manusia yang sitematis dan terencana. Perlu dicatat disini bahwa sistem pemantauan dan evaluasi dalam satu siklus organisasi merupakan hal yang sering dilupakan, padahal sangat penting. Tanpa adanya pemantauan, pengawasan dan evaluasi yang baik, kemajuan, kemunduran atau penyimpangan program sukar untuk diketahui. Disamping itu tanpa adanya evaluasi yang baik, perencanaan berikutnya akan sulit untuk dirumuskan dengan baik.
Pada tingkat pusat jika memang pembangunan kependudukan dipandang penting (seharusnya memang demikian) maka perlu dikembangkan lembaga non operasional untuk menangani hal tersebut. Bentuk kelembagaan itu dapat saja Menteri Negara atau suatu komisi atau Dewan yang langsung berada dibawah Presiden atau Wakil Presiden. Tugas kelembagaan ini adalah memberikan saran kebijakan kepada pemerintah dalam hal pembangunan kependudukan serta upaya sinkronisasi kebijakan pembangunan (terutama ekonomi) yang berwawasan kependudukan. Lebih baik lagi kalau dalam perbaikan struktur pemerintahan segera dibentuk kembali Kantor Mnteri Negara Kependudukan atau Badan setingkat LPND lagi.
Penutup
Pada masa pasca krisis ekonomi daerah, perhatian terhadap masalah kependudukan harus tetap dilakukan, tertuma menyangkut upaya mengembangkan pembanngunan berwawasan kependudukan (people centered development). Ketidak pedulian terhadap isu pembangunan berwawasan kependudukan akan menyebabkan Indonesia kembali menghadapi krisis yang sama pada beberapa tahun mendatang. Justru perkembangan ini perlu diwaspadai, bahkan harus dihindarkan semampu mungkin.Kondisi keuangan negara yang semakin terbatas dan tuntutan politik dalam dan luar negeri, perencanaan pembangunan yang bersifat ‘bottom-up’ menjadi sangat penting. Dalam hal ini masing-masing daerah dituntut harus dapat memanfaatkan keuangan negara yang semakin terbatas untuk mencapai tujuan pembangunan yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya.Kuncinya adalah bagaimana para perencana pembangunan di daerah dapat mengalokasikan dana tersebut secara tepat sesuai dengan prioritas kebutuhan yang ada. Salah satu aspek yang harus ditelaah adan dijadikan patokan dalam melihat dan menentukan skala prioritas pembangunan adalah bagaimana kondisi perkembangan kependudukan yang ada di daerah tersebut. Tanpa melihat faktor kependudukan tersebut maka pembangunan yang ada tidak akan dapat dinikmati oleh masyarakat setempat.Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan terbukti tidak langsung secara berkesinambungan dan tidak dinikmati oleh seluruh masyarakat sehingga filosofi penduduk sebagai subyek dan obyek pembangunan tidak tercapai. Pembangunan tidak dirasakan sebagai milik rakyat, sehingga tidak mengakar. Apa yang terjadi kemudian adalah jika terjadi sedikit gejolak (seperti apa yang dialami sekarang ini), maka gejolak tersebut menjadi sulit untu diatasi dan masyarakat menjadi kurang berpartisipasi dalam mengatasi gejolak yang ada. Hal ini disebabkan mereka tidak merasa memiliki.Oleh karena itu apa yang terjadi saat ini kiranya menjadi pelajaran yang sangat berharga, terutama bagi perencana dan pelaksana pembangunan didaerah tingkat II sebagai ujung tombak pembangunan nasional dimasa mendatang. Agar kiranya dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan, harus melihat pada kondisi dan kebutuhan nyata yang ada pada masyarakat didaerah masing-masing. Tidak perlu selalu berpatokan dari apa yang terjadi di daerah lain, atau bahkan menunggu arahan pusat.Bagaimana bentuk kelembagaan yang menangani masalah kependudukan di daerah yaitu aspek pembangunan kependudukan itu sendiri serta pembangunan berwawsan kependudukan, sangat tergantung pada kondisi dan kemampuan masing-masing daerah. Namun yang pasti adalah ketidak pedulian kita pada aspek ini akan berdampak buruk pada pembangunan nasional dimasa mendatang dan kehidupan generasi mendatang§
Daftar Bacaan
Ananta, Aris, Ismail Budhiarso dan Turro S. Wongkaren. 1995, “Revolusi Demografi dan Peningkatan Sumberdaya Manusia”, dalam buku Prospek Ekonomi Indonesia Jangka Pendek: Sumberdaya, Teknologi dan Pembangunan, editor Mohamad Arsyad Anwar, Faisal H. Basri, Mohamad Ikhsan. Jakarta: Kerjasama Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dengan penerbit Gramedia Pustaka Utama.Hal Hill, 1996, Transformasi Ekonomi Indonesia sejak 1966: Sebuah Studi Kritis dan Konprehensif, PAU (Studi Ekonomi) UGM & PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.Iskandar,N: 1974, Beberapa Aspek Permasalahan Kependudukan di Indonesia, special Reprint Series No. 4, Demographic institute FEUI Jakarta, January 1974, p.19Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, 1994, Indonesia Country Report Population and Development, Jakarta, IndonesiaKantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, 1997, Draft Repelita VII Bidang Kependudukan, Jakarta, 1997Krugman, Paul, 1997, “The Myth to Asia Miracle”, Fortune, November 1994 Foreign AffairsKrugman, Paul, 1997, “What Happened to Asia Miracle”, Fortune, 18 November 1997.Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN, 1997, Strategi Kebijaksanaan Kependudukan, ceramah di SESKO ABRI, Bandung 6 Nopember 1998Moeljarto Tjokrowinoto, 1996, Pembangunan: Dilema dan Tantangan, Pustaka Pelajar, JakartaPrijono Tjiptoherijanto, 1997, Migrasi, Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia, Kumpulan makalah terbitan UI Press, Jakarta.Prijono Tjiptoherijanto, 1999, “Economic Crisis and Recovery: the Indonesia’s Case” makalah disampaikan pada “The EWCA Regional Conference in the Philippines on Asia and the Pacific in the Millenium: Challenges, Opportunities & Responses”, Manila, Philippines, 28-29 January
1 Sejauh ini walaupun disebutkan dalam GBHN bahwa pembangunan nasional adalah pembangunan sumber daya manusia seiring dengan pembangunan ekonomi, namun dalam kenyataannya pembangunan nasional masih terlalu terfokus pada pembangunan ekonomi. Di samping itu, nampak jelas bahwa pemilihan sasaran pembangunan ekonomi, khususnya pengembangan industri, dalam banyak kasus tidak memperhatikan dan memperhitungkan kondisi kependudukan yang ada.2 Dengan demikian nampak jelas bahwa pada tataran kebijakan, pembangunan kependudukan dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mengembangkan kebijakan dan program yang dapat mempengaruhi kondisi kependudukan. Program keluarga berencana adalah contoh yang paling jelas, dimana melalui program tersebut diupayakan pengendalian kelahiran penduduk menuju kondisi yang diinginkan. Sedangkan pada tataran implementasi dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mengintegrasikan isu-isu kependudukan ke dalam program pembangunan sektoral atau yang lebih dikenal di kalangan perencana pembangunan atau ahli kependudukan sebagai “pembangunan berwawasan kependudukan” (population/people oriented development)
Senin, 03 Oktober 2011
Kelembagaan Kependudukan Era Otonomi Daerah
Konsep Pengembangan Wilayah dalam Perencanaan Pembangunan
Konsep pengembangan wilayah dikembangkan dari kebutuhan suatu daerah untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan kesehateraan masyarakat. Pengaruh globalisasi, pasar bebas dan regionalisasi menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika spasial, sosial, dan ekonomi antarnegara, antardaerah (kota/kabupaten), kecamatan hingga perdesaan.
Globalisasi juga ditandai dengan adanya revolusi teknologi informasi, transportasi dan manajemen. Revolusi tersebut telah menyebabkan batas antara kawasan perkotaan dan perdesaan menjadi tidak jelas, terjadinya polarisasi pembangunan daerah, terbentuknya kota dunia (global cities), sistem kota dalam skala internasional, terbentuknya wilayah pembangunan antarnegara (transborder regions), serta terbentuknya koridor pengembangan wilayah baik skala lokal, nasional, regional dan internasional.
Di kawasan Asia globalisaasi telah menciptakan polarisasi pembangunan yang sangat signifikan dalam bentuk megaurban region yang terjadi di kota-kota metropolitan di sepanjang pantai timur Tokyo, Seoul, Shanghai, Taipei, Hongkong, Guangzhou, Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Jakarta, bandung Hingga Surabaya. Dalam skala antarnegara terjadi pemusatan di Bohai (Cina – Korea), Hongkong- Guangzhou, dan SIJORI (Singapura-Johor-Riau). Di Indonesia polarisaisi terpusat di sepanjang Sumetera (Medan-Palembang), dan Jawa (Jakarta-Bandung-Semarang- Surabaya).
Koridor mega urban ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sekitarnya terutama kabupaten, kecamatan dan desa-desa disekitarnya yang memiliki hubungan ekonomi dan pasar yang cukup kuat. Namun
perubahan tersebut tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana wialayh yang memadai akibat keterbatasan pemerintah. Oleh karena itu, pihak swasta dan lembaga lainnya dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
Berbagai dampak yang di akibatkan dari globalisasi ekonomi terhadap pembangunan lokal secara sederhana sebagai berikut :
1. Berubahnya orientasi pembangunan yang harus bertumpu pada peningkatan individu, kelompok dan pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi persaingan global, sehingga memungkinkan masyarakat mampu bertahan (survive), mengembangkan diri dan meningkatkan kesejahteraan.
2. Semakin pentingnya peran lembaga non pemerintah seperti, pihak swasta, masyasrakat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pelaksanaan pembangunan dan pembiayaan.
3. Terjadinya peningkatan urbanisasi di pinggiran kota besar dibandingkan di dalam kota besar itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh Mc. Gee pada tahun 1980-an. Batas antara kawasan perkotaan dan pedesaan semakin tidak jelas akibat pertumbuhan ekonomi, Dimana kegiatan perkotaan telah berbaur dengan perdesaaan dengan intensitas pergerakan investasi, ekonomi dan penduduk semakin tinggi.
Atas dasar uraian di atas, pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah terutama di perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah yang baik dengan mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desa-desa tertinggal.
Perubahan paradigma perlu dilakukan dalam menata kembali daerah-daerah yang dikatagorikan miskin dan lemah agar mampu meningkatkan daya saing, manajemen produksi dan teknologi tepat guna berbasis lokal yang mampu mempengaruhi daerah lainnya secara timbal balik. Secara sederhana konsep pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan perdesaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan.
Globalisasi juga ditandai dengan adanya revolusi teknologi informasi, transportasi dan manajemen. Revolusi tersebut telah menyebabkan batas antara kawasan perkotaan dan perdesaan menjadi tidak jelas, terjadinya polarisasi pembangunan daerah, terbentuknya kota dunia (global cities), sistem kota dalam skala internasional, terbentuknya wilayah pembangunan antarnegara (transborder regions), serta terbentuknya koridor pengembangan wilayah baik skala lokal, nasional, regional dan internasional.
Di kawasan Asia globalisaasi telah menciptakan polarisasi pembangunan yang sangat signifikan dalam bentuk megaurban region yang terjadi di kota-kota metropolitan di sepanjang pantai timur Tokyo, Seoul, Shanghai, Taipei, Hongkong, Guangzhou, Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Jakarta, bandung Hingga Surabaya. Dalam skala antarnegara terjadi pemusatan di Bohai (Cina – Korea), Hongkong- Guangzhou, dan SIJORI (Singapura-Johor-Riau). Di Indonesia polarisaisi terpusat di sepanjang Sumetera (Medan-Palembang), dan Jawa (Jakarta-Bandung-Semarang- Surabaya).
Koridor mega urban ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sekitarnya terutama kabupaten, kecamatan dan desa-desa disekitarnya yang memiliki hubungan ekonomi dan pasar yang cukup kuat. Namun
perubahan tersebut tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana wialayh yang memadai akibat keterbatasan pemerintah. Oleh karena itu, pihak swasta dan lembaga lainnya dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
Berbagai dampak yang di akibatkan dari globalisasi ekonomi terhadap pembangunan lokal secara sederhana sebagai berikut :
1. Berubahnya orientasi pembangunan yang harus bertumpu pada peningkatan individu, kelompok dan pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi persaingan global, sehingga memungkinkan masyarakat mampu bertahan (survive), mengembangkan diri dan meningkatkan kesejahteraan.
2. Semakin pentingnya peran lembaga non pemerintah seperti, pihak swasta, masyasrakat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pelaksanaan pembangunan dan pembiayaan.
3. Terjadinya peningkatan urbanisasi di pinggiran kota besar dibandingkan di dalam kota besar itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh Mc. Gee pada tahun 1980-an. Batas antara kawasan perkotaan dan pedesaan semakin tidak jelas akibat pertumbuhan ekonomi, Dimana kegiatan perkotaan telah berbaur dengan perdesaaan dengan intensitas pergerakan investasi, ekonomi dan penduduk semakin tinggi.
Atas dasar uraian di atas, pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah terutama di perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah yang baik dengan mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desa-desa tertinggal.
Perubahan paradigma perlu dilakukan dalam menata kembali daerah-daerah yang dikatagorikan miskin dan lemah agar mampu meningkatkan daya saing, manajemen produksi dan teknologi tepat guna berbasis lokal yang mampu mempengaruhi daerah lainnya secara timbal balik. Secara sederhana konsep pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan perdesaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan.
Peranan Kearifan Lokal dalam Pembangunan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangBeberapa waktu yang lalu terjadi krisis ekonomi besar-besaran di negara super power Amerika serikat. Krisis ini berdampak pada adanya krisis global secara langsung pada negara-negara yang bergantung pada Amerika. Meskipun Indonesia tidak termasuk pada salah satu negara yang terkena imbas krisis tersebut, perekonomian Indonesia tetap berada pada keadaan yang menghawatirkan. Hutang luar negeri Indonesia yang cukup besar mengakibatkan semakin merosotnya keadaan perekonomian saat ini.
Kearifan lokal di Indonesia saat ini menjadi topik bahasan menarik dibicarakan di tengah semakin menipisnya sumber daya alam dan peliknya upaya pemberdayaan masyarakat. Paling tidak ada dua alasan yang menyebabkan kearifan lokal turut menjadi elemen penentu keberhasilan pembangunan sumber daya masyarakat dan sumber daya alam sekitar. Pertama, karena keprihatinan terhadap peningkatan intentitas kerusakan sumber daya alam khususnya akibat berbagai faktor perilaku manusia. Kedua, tekanan ekonomi yang makin mengglobal dan dominan mempengaruhi kehidupan masyarakat sehingga secara perlahan ataupun cepat menggeser kearifan lokal menjadi kearifan ekonomi. Kedua faktor ini bekerja mendorong masyarakat melakukan hal bersifat destruktif terutama saat mengelola usaha berbau produktif mengandalkan potensi sumber daya alam.
Kearifan lokal merupakan modal utama masyarakat dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan alam sekitarnya. Kearifan lokal dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam struktur sosial masyarakat sendiri dan memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu untuk berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan baik saat berhubungan dengan sesama maupun dengan alam. Sekarang eksistensi kearifan lokal dirasakan semakin memudar pada berbagai kelompok
masyarakat. Contohnya dalam bidang pertanian, dahulu banyak daerah yang memiliki tempat penyimpanan padi sebagai cadangan untuk di masa paceklik. Namun saat ini, hal itu sudah jarang di jumpai.
Memandang melalui fenomena di atas maka di perlukan analisis mengenai pemanfaatan kearifan lokal sebagai sebuah alat untuk meningkatkan ekonomi. Sehingga, di sini akan di temukan alat baru untuk pengembangan ekonomi mayarakat dan pelestarian budaya lokal di pedesaan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskanlah beberapa pertanyaan yang akan di jawab melalu pengkajian ini.
- Bagaimana peran kearifan lokal saat ini dalam membangun perekonomian masyarakat?
- Berapa besar potensi kearifan lokal mampu meningkatkan ekonomi pada jangka panjang ?
- Untuk menganalisa sejauh mana peran kearifan lokal saat ini dalam membangun perekonomian masyarakat
- Untuk melihat sejauh mana potensi kearifan lokal mampu meningkatkan ekonomi pada jangka panjang
- Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
- Bagi penulis
- Bagi Masyarakat
BAB II
KAJIAN TEORI
Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Menurut Oding,S (2002) kearifan lokal dicirikan dengan dasar kemandirian dan keswadayaan, Memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan, Menjamin daya hidup dan keberlanjutan, Mendorong teknologi tepat guna, Menjamin tepat guna yang efektifdari segi biaya dan meberikan kesempatan untuk memahamidan memfasilitasi perancangan pendekatan program yang sesuai.
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan” (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987). Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Perekonomian berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Secara harfiah, pembangunan berkelanjutan mengacu pada upaya memelihara/mempertahankan kegiatan membangun (development) secara terus menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, serta pada kenyataannya, pembangunan memiliki dimensi sosial dan politik yang kental. Pembangunan, dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial dari suatu masyarakat (society), dimana tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut. Atribut tersebut dapat mencakup: kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses kepada sumberdaya, distribusi pendapatan yang lebih merata, dan sebagainya. Sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum dimana karakter vektor pembangunan tadi tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce et al., 1992)
Tiga tujuan inti pembangunan yaitu peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil melainkan juga untuk menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. Perluasaan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan bukan hanya terhadap orang atau Negara lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka. (Todaro,2006)
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Teknik Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan memakai pendekatan kuantitatif dengan menggunakan teknik observasi yang lebih terfokus pada jenis data sekunder. Data sekunder diperoleh dengan teknik penelusuran terhadap literatur, dokumen, arsip, dan hasil penelitian yang berhubungan dengan tema penelitian.
3.2 Teknik Analisis Data
Dalam teknik pengumpulan data telah di jelaskan bahwa penelitian ini lebih terfokus melalui data yang telah ada. Adapun langkah langkah pengolahan data adalah sebagai berikut:
- Mengumpulkan literatur yang berkaitan dengan peranan kearifan lokal dalam peningkatan ekonomi jangka panjang.
- Mengidentifikasi masalah-masalah yang ada
- Menganalisa hubungan antara permasalahan yang ada
- Menyimpulkan dan melaporkan
PEMBAHASAN
Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam tempo yang relatif cepat. Tidak dapat dipungkiri pembangunan telah membawa kita pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian dari keseluruhan kehidupan masyarakat, telah pula menciptakan jarak yang lebar antara kecanggihan dan keterbelakangan.
Kebudayaan dan kearifan lokal sangat erat hubungannya dengan masyarakat, maknanya bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kebudayaan dapat dipandang sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Kearifan lokal merupakan suatu kelembagaan informal yang mengatur hubungan atas pengolahan sumber daya di suatu masyarakat. Hal ini dapat diuraikan bahwa tradisi (invented tradition) sebagai seperangkat aksi atau tindakan yang biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang dapat diterima secara jelas atau samar-samar maupun suatu ritual atau sifat simbolik, yang ingin menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan, yang secara otomatis mengimplikasikan adanya kesinambungan dengan masa lalu.
Diantara fenomena atau wujud kearifan lokal, yang merupakan bagian inti kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberikan arah bagi berbagai tindakan. Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas suatu daerah, yang memiliki korelasi menciptakan langkah-langkah strategis dan nyata dalam memberdayakan dan mengembangkan potensi (sosial, budaya, ekonomi, politik dan keamanan) daerah secara optimal serta sebagai filter dalam menyeleksi berbagai pengaruh budaya dari luar.
Kearifan lokal merupakan kekuasaan dan potensi riil yang dimiliki suatu daerah sebagai aset daerah yang mendorong pengembangan dan pembangunan daerah. Selanjutnya dalam usaha membangun daerah perlu dilakukan pemberdayaan budaya lokal atau kearifan lokal yang mendukung penyusunan strategi budaya atau rumusan rencana kegiatan budaya di daerah sebagai landasan daerah di bidang budaya.
Sebagai contoh studi kasus yang dapat memberikan suatu pencerahan bahwa potensi kearifan lokal dapat membawa perekonomian kearah yang berkelanjutan di daerah Kampung Sarongge. Masyarakat menggunakan Leuit (lumbung penyimpanan padi atau gabah hasil panen komunitas petani) untuk menjadikan hasil panen sebagai cadang dimasa paceklik. Selama puluhan tahun dari genersi kegenerasi masyarakat kampung ini mempertahankan tradisi menyimpan padi dalam lumbung keluarga baik untuk kepentingan konsumsi maupun benih musim tanam berikutnya. Selama budaya ini dipertahanan tidak ada masyarakat kampung Sarongge yang menderita kelaparan karena tidak memiliki simpanan makanan.( Arif M)
Saat ini sudah cukup banyak kearifan lokal dari beberapa daerah yang menghilang. Seperti halnya kearifan lokal di desa Sarongge yang telah mulai memusar. Hal ini tentu cukup berpengaruh perkembangan ekonomi masyarakat.
Paradigma lama mengatakan tingkat perekonomian suatu Negara hanya ditentukan oleh mekanisme pasar dan intervensi pemerintah. Namun pada kenyataanya hal ini tidak mampu mengatasi ketidaksempurnaan pasar. Ketidak sempurnaan ini perlu dipertimbangkan kembali , karena keterbatasan pemerintah dalam kemampuan personal dan penguasaan informasi. Selain itu, ada nilai-nilai setempat yang sering disebut kearifan lokal (local wisdom) untuk dijadikan pendukung pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik terutama untuk perekonomian yang berkelanjutan
Dengan menggunakan kearifan lokal sebagai strategi utama dalam perbaikan ekonomi di masa depan khususnya ekonomi berkelanjutan sangatlah tepat. Dikarenakan masyarakat dapat mengetahui lebih jauh apa yang harus dilakukan dan dibutuhkan dalam melakukan kegiatan ekonomi sesuai dengan potensi yang dimiliki suatu daerah. Dengan demikian kegiatan perekonomian di suatu daerah dapat berjalan dengan baik tanpa adanya
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
- Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama. Oleh karena itu sangat strategis apabila dijadikan suatu terobosan terbaru dalam pembangunan karena masyarakat mengetahui apa yang dibutuhkan dan baik untuk mereka.
- Kearifan lokal yang dikelola dengan sinergitas dapat menjadi motivasi yang kuat untuk mendapatkan insentif yang paling bernilai untuk pembangunan jangka panjang.
- Diperlukan kesinergisan antara stakeholder yang terkait agar kearifan lokal dapat terlaksana dengan maksimal guna pembangunan yang lebih baik.
- Diperlukannya manajemen kolaboratif dalam pengembangan kearifan Lokal.
- Perlu diterapkan suatu konsep keberlanjutan, kebersamaan, keanekaragaman hayati, kepatuhan terhadap ukum adat dan subsisten dalam pengembangan kearifan lokal agar menghasilkan suatu pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang mencakup ekonomi yang bermanfaat, secara ekologis tidak merusak dan secara budaya menghormati nilai-nilai kemanusiaan.
Peranan APBN dalam Pertumbuhan Pembangunan
Oleh karena itu menjadi tugas Pemerintah untuk menentukan kebijaksanaan di bidang anggaran belanja agar stabilitas pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tetap dapat di pertahankan tanpa adanya bantuan dari luar negeri, artinya besarnya pengeluaran total tidak boleh melebihi besarnya pendapatan total (surplus).
Kebijakan yang di tetapkan pemerintah antara lain adalah kebijakan fiscal, kebijakan moneter , kebijakan keuangan international dan kebijakan pemerataan pendapatan.
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi variabel-variabel berikut:
o Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
o Pola persebaran sumber daya
o Distribusi pendapatan
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Tujuan – tujuan dari kebijakan di atas tentu saja untuk menjaga keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran Negara yang tercatat di dalam APBN.
B. TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah memaparkan sejauh mana peranan APBN dalam mempengaruhi pertumbuhan pembangunan ekonomi dan infrastruktur baik infrastruktur ekonomi maupun infrastruktur pemukiman Bangsa Indonesia hingga dewasa ini. Sesuai dengan fungsi dari APBN itu sendiri.
BAB II
APBN
APBN
A. PENGERTIAN APBN
APBN (Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara) adalah adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.
B. TAHAPAN PENYUSUNAN, PELAKSANAAN, & PERTANGGUNGJAWABAN APBN
1. Penyusunan APBN
Pemerintah mengajukan Rancangan APBN dalam bentuk RUU tentang APBN kepada DPR. Setelah melalui pembahasan, DPR menetapkan Undang-Undang tentang APBN selambat-lambatnya 2 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan.
2. Pelaksanaan APBN
Setelah APBN ditetapkan dengan Undang-Undang, pelaksanaan APBN dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Berdasarkan perkembangan, di tengah-tengah berjalannya tahun anggaran, APBN dapat mengalami revisi/perubahan. Untuk melakukan revisi APBN, Pemerintah harus mengajukan RUU Perubahan APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR.
Dalam keadaan darurat (misalnya terjadi bencana alam), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya.
3. Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN
Selambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir, Presiden menyampaikan RUU tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN kepada DPR berupa Laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
C. STRUKTUR APBN
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara saat ini adalah:
1. Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan Negara dan Hibah terdiri atas:
1.1 Penerimaan Dalam Negeri, terdiri atas:
a. Penerimaan Perpajakan, terdiri atas
** Pajak Dalam Negeri, terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan pajak lainnya.
** Pajak Perdagangan Internasional, terdiri atas Bea Masuk dan Tarif Ekspor.
b. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terdiri atas:
** Penerimaan SDA (Migas dan Non Migas)
** Bagian Laba BUMN
** PNBP lainnya
1.2 Hibah
Hibah mempunyai pengertian bantuan yang berasal dari swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan pemerintah luar negeri
2. Belanja Negara
Belanja terdiri atas dua jenis:
2.1 Belanja Pemerintah Pusat, adalah belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan Pemerintah Pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Belanja Pemerintah Pusat dapat dikelompokkan menjadi: Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Pembiayaan Bunga Utang, Subsidi BBM dan Subsidi Non-BBM, Belanja Hibah, Belanja Sosial (termasuk Penanggulangan Bencana), dan Belanja Lainnya.
2.2 Belanja Daerah, adalah belanja yang dibagi-bagi ke Pemerintah Daerah, untuk kemudian masuk dalam pendapatan APBD daerah yang bersangkutan. Belanja Daerah meliputi:
** Dana Bagi Hasil
**Dana Alokasi Umum
**Dana Alokasi Khusus
** Dana Otonomi Khusus.
3. Pembiayaan
Pembiayaan meliputi:
3.1 Pembiayaan Dalam Negeri, meliputi Pembiayaan Perbankan, Privatisasi, Surat Utang Negara, serta penyertaan modal negara.
3.2 Pembiayaan Luar Negeri, meliputi:
3.3 Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan Pinjaman Proyek
3.4 Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh Tempo dan Moratorium.
C. ASUMSI APBN
Dalam penyusunan APBN, pemerintah menggunakan 7 indikator perekonomian makro, yaitu:
1. Produk Domestik Bruto (PDB) dalam rupiah
2. Pertumbuhan ekonomi tahunan (%)
3. Inflasi (%)
4. Nilai tukar rupiah per USD
5. Suku bunga SBI 3 bulan (%)
6. Harga minyak indonesia (USD/barel)
7. Produksi minyak Indonesia (barel/hari)
D. TEORI MENGENAI APBN
1. Fungsi APBN
APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.
APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya.
• Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan, Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
• Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka negara dapat membuat rencana-rencana untuk medukung pembelanjaan tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar.
• Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.
• Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian.
• Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
• Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
2. Prinsip penyusunan APBN
Berdasarkan aspek pendapatan, prinsip penyusunan APBN ada tiga, yaitu:
• Intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan penyetoran.
• Intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara.
• Penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dan penuntutan denda.
Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan APBN adalah:
• Hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan.
• Terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan.
• Semaksimah mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan atau potensi nasional.
3. Azas penyusunan APBN
APBN disusun dengan berdasarkan azas-azas:
o Kemandirian, yaitu meningkatkan sumber penerimaan dalam negeri.
o Penghematan atau peningkatan efesiensi dan produktivitas.
o Penajaman prioritas pembangunan
o Menitik beratkan pada azas-azas dan undang-undang negara
BAB III
PERANAN APBN DALAM PERTUMBUHAN PEMBANGUNAN
PERANAN APBN DALAM PERTUMBUHAN PEMBANGUNAN
A. PERANAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI
Dalam hal ini perananan APBN sangat penting, di antaranya tentu saja untuk menciptakan lapangan kerja , untuk mengatasi adanya masalah makro ekonomi yaitu pengangguran.
Sampai detik ini Peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN terhadap pertumbuhan ekonomi 2007 dinilai minim.
Hal itu ditandai dengan pertumbuhan konsumsi pemerintah yang berada di bawah target semula, yakni dari rencana 8,9 persen dibanding 2006 ternyata diperkirakan hanya 6,14 persen.
"Itu menandakan APBN gagal menjadi stimulus pertumbuhan. Pertumbuhan yang sekarang ini dicapai lebih banyak didorong oleh investasi swasta, ekspor, dan konsumsi masyarakat," ujar anggota Komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo, akhir pekan lalu.
Dalam siaran pers tentang evaluasi Kinerja Departemen Keuangan yang disampaikan 29 Desember 2007, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, pertumbuhan ekonomi di 2007 diperkirakan akan mencapai target 6,3 persen.
Pertumbuhan itu didorong konsumsi rumah tangga dan peningkatan ekspor. Ekspor melonjak akibat kenaikan harga komoditas di pasar dunia.
"Meski demikian, pembentukan modal tetap bruto atau indikator investasi rendah. Dari target 12,3 persen (dibanding 2006), hanya mencapai 7,9 persen," katanya.
Pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan digambarkan dengan konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang lebih rendah dari target semula.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan akan mencapai 5 persen atau 0,1 persen di bawah target semula. Sementara konsumsi pemerintah diperkirakan akan tumbuh 6,14 persen atau jauh di bawah target yang ditetapkan tumbuh 9,9 persen.
Pemerataan ekonomi
Dradjad menegaskan, kegagalan APBN sebagai stimulus pertumbuhan akan menimbulkan konsekuensi lain, yakni gagal sebagai alat fiskal yang mendorong pemerataan ekonomi.
Hal itu terjadi karena sumber utama penerimaan yang tercatat di APBN adalah pajak. Pajak memiliki satu fungsi utama yakni fungsi realokasi.
Dengan rendahnya porsi konsumsi pemerintah (melalui anggaran belanja negara) terhadap produk domestik bruto berarti fungsi pemerataan itu tidak berjalan. "Fungsi ini akan semakin tidak jalan apabila anggaran belanja negara di APBN bias karena dibelanjakan ke program atau proyek yang tidak pro-rakyat, misalnya untuk remunerasi pejabat dan DPR, seperti apartemen DPR," ujar Dradjad.
Realisasi anggaran belanja yang menonjol adalah belanja modal 2007 yang mencapai 89,4 persen dari target APBN-Perubahan menjadi Rp 61,87 triliun. Ini mengejutkan karena realisasi di 2005 hanya 60 persen anggaran belanja modal yang terserap lalu di 2006 menjadi 82,4 persen.
B. PERANAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
Pengertian infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur yang terdiri dari infrastruktur fisik dan jasa layanan yang diperoleh darinya untuk memperbaiki produktivitas ekonomi dan kualitas hidup seperti transportasi, telekomunikasi, kelistrikan, dan irigasi. Sedangkan Pengertian infrastruktur pemukiman adalah infrastruktur yang terdiri dari infrastruktur fisik dan layanan yang diperoleh darinya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan meningkatkan kualitas hidup seperti air bersih dan perumahan.
Peningkatan rencana alokasi anggaran infrastruktur Departemen Pekerjaan Umum pada 2009 menjadi Rp 35,7 triliun antara lain ditujukan menyelesaikan seluruh proyek jalan nasional. Pemerintah juga menargetkan pembangunan dan perbaikan infrastruktur untuk irigasi.
Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengemukakan hal itu dalam pemaparan nota keuangan dan RAPBN, di Jakarta, Jumat (15/8). Rencana anggaran itu turun jika dibandingkan dengan usulan anggaran sebesar Rp 58,7 triliun.
Alokasi anggaran Direktorat Jenderal Bina Marga pada 2009 direncanakan sebesar Rp 17 triliun. Dana itu di antaranya untuk menyelesaikan seluruh proyek jalan nasional, di antaranya jalan lintas timur Sumatera, lintas pantai utara dan selatan Jawa, serta lintas barat Sulawesi.
Peningkatan jalan dan jembatan nasional ditargetkan sepanjang 1.8 44 kilometer. Adapun rehabilitasi jalan nasional direncanakan sepanjang 1.303 kilometer, dan pemeliharaan rutin jalan nasional sepanjang 24.827 kilometer dan jembatan 29.441 meter. Pembangunan jalan dan jembatan juga mencakup Trans Kalimantan, Trans Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua.
Sementara itu, dana pengairan direncanakan sebesar Rp 8 triliun. Dari anggaran itu, sejumlah Rp 3,2 triliun atau 40 persen dialokasikan untuk pembangunan dan pemeliharaan irigasi dan selebihnya untuk pengendalian banjir.
Djoko menegaskan, anggaran tahun 2009 yang terbatas itu hampir tidak mungkin disiapkan untuk kondisi luar biasa. Apabila terjadi kenaikan harga proyek infrastruktur akibat kondisi luar biasa, maka langkah yang dilakukan adalah optimasi.
Dalam pemaparan di Gedung DPR RI, pemerintah menyatakan komitmen meningkatkan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2009. Penyediaan infrastruktur selain diharapkan mendorong pertumbuhan sektor per tanian dan industri, juga menjadi pemicu pembangunan kawasan.
Rencana anggaran untuk Departemen Perhubungan naik 5,1 persen menjadi Rp 16,1 triliun. Peningkatan anggaran itu ditujukan bagi pengembangan sarana dan prasarana moda transportasi.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemaparan di DPR RI, mengatakan, anggaran departemen pekerjaan umum itu memungkinkan penyelesaian beberapa proyek besar, seperti Jembatan Surabaya-Madura, Bandara Kuala Namu di Sumatera Utara, dan Bandara Has anuddin di Sulawesi Selatan.
Meski demikian, Menteri Perhubungan Jusman Syafeii, mengemukakan, penyelesaian Bandara Kuala Namu diperkirakan tidak bisa tuntas pada Oktober 2009. Penyelesaian pembangunan ditargetkan baru rampung pada 2010.Penyebabnya, areal untuk lokasi bandara merupakan daerah rawa. Hal itu mengakibatkan butuh waktu lebih panjang untuk pemadatan tanah.
Anggaran Pendapan dan Belanja Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Berdasarkan teori keyness, APBD/N merupakan salah satu mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Peranan APBD sebagai pendorong dan salah satu penentu tercapainya target dan sasaran makro ekonomi daerah diarahkan untuk mengatasi berbagai kendala dan permasalahan pokok yang merupakan tantangan dalam mewujudkan agenda masyarakat yang sejahtera dan mandiri. Kebijakan pengelolaan APBD difokuskan pada optimalisasi fungsi dan manfaat pendapatan, belanja dan pembiayaan bagi tercapainya sasaran atas agenda- agenda pembangunan tahunan. Di bidang pengelolaan pendapatan daerah, akan terus diarahkan pada peningkatan PAD. Untuk merealisasikan hal tersebut akan dilakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan yang telah ada maupun menggali sumber-sumber baru. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan peningkatan pendapatan daerah beberapa hal penting yang perlu dilakukan antara lain dengan memperbaharui data obyek pajak, peningkatan pelayanan dan perbaikan administrasi perpajakan, peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak, peningkatan pengawasan internal terhadap petugas pajak, dan mencari sumber-sumber pendapatan lainnya yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Sementara pada sisi belanja, kebijakan pengelolaan belanja daerah diarahkan untuk meningkatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat, dengan mengupayakan peningkatan porsi belanja pembangunan dan melakukan efisiensi pada belanja aparatur. Dalam kaitannya dengan pembiayaan, akan terus diupayakan peningkatan penyertaan modal pada beberapa badan usaha milik daerah agar dapat menghasilkan peningkatan PAD. Selanjutnya disiplin dan efisiensi anggaran akan secara konsisten dipertahankan dan dilaksanakan guna meningkatkan SiLPA tanpa mempengaruhi penurunan kinerja SKPD. Bersamaan dengan itu, kebijakan pembiayaan defisit akan diarahkan penanggulangannya melalui sumber selain pinjaman daerah, mengingat masih terbatasnya sumber pendapatan asli daerah dan belum dinamisnya sektor industri maupun jasa sebagai basis penerimaan daerah.
Pendapatan
a. Dana Perimbangan Sumber pendapatan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah lainnya. Dana Perimbangan merupakan komponen terbesar dalam pendapatan daerah. Dana Alokasi Umum adalah komponen terbesar dalam Dana Perimbangan. Peningkatan Dana Perimbangan merupakan konsekuensi logis otonomi daerah yang disertai pendanaannya dengan kebijakan desentralisasi fiskal melalui UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Meningkatnya alokasi dana perimbangan juga dipicu oleh penggabungan instansi vertikal menjadi organisasi perangkat daerah beserta pegawainya, yang disusul dengan peningkatan gaji dan tunjangan dalam waktu bersamaan. Selama kurun 2000-2006 terjadi peningkatan dana perimbangan dari Rp. 93,28 Milyar menjadi Rp. 380,51 milyar pada tahun 2006. Penurunan dana perimbangan terjadi pada tahun 2002, akibat terjadi pemekaran Kota Bima yang disertai pengalihan Pegawai. Adapun kenaikan dana perimbangan setelah tahun 2002 dipengaruhi oleh kenaikan gaji, tunjangan, penambahan CPNS dan adanya perbedaan celah fiskal (fiscal gap) dan Penerimaan Dalam Negeri sesuai formula DAU dan Dana Bagi Hasil.
Belanja
Belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam APBD yang diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Secara umum belanja daerah dapat dikategorikan ke dalam belanja aparatur dan belanja publik. Belanja publik merupakan belanja yang penggunaannya diarahkan dan dinikmati langsung oleh masyarakat. Meskipun demikian, seiring perubahan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pengelolaan keuangan daerah sejak pemberlakuan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2003 yang selanjutnya diganti dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006, kategorisasi belanja daerah selalu mengalami perubahan nama.
Pendapatan
a. Dana Perimbangan Sumber pendapatan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah lainnya. Dana Perimbangan merupakan komponen terbesar dalam pendapatan daerah. Dana Alokasi Umum adalah komponen terbesar dalam Dana Perimbangan. Peningkatan Dana Perimbangan merupakan konsekuensi logis otonomi daerah yang disertai pendanaannya dengan kebijakan desentralisasi fiskal melalui UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Meningkatnya alokasi dana perimbangan juga dipicu oleh penggabungan instansi vertikal menjadi organisasi perangkat daerah beserta pegawainya, yang disusul dengan peningkatan gaji dan tunjangan dalam waktu bersamaan. Selama kurun 2000-2006 terjadi peningkatan dana perimbangan dari Rp. 93,28 Milyar menjadi Rp. 380,51 milyar pada tahun 2006. Penurunan dana perimbangan terjadi pada tahun 2002, akibat terjadi pemekaran Kota Bima yang disertai pengalihan Pegawai. Adapun kenaikan dana perimbangan setelah tahun 2002 dipengaruhi oleh kenaikan gaji, tunjangan, penambahan CPNS dan adanya perbedaan celah fiskal (fiscal gap) dan Penerimaan Dalam Negeri sesuai formula DAU dan Dana Bagi Hasil.
Perkembangan Realisasi Dana Perimbangan di Kabupaten Bima Selama 2000-2005 Sumber: Laporan Realisasi APBD (2000-2006), diolah
Berdasarkan grafik di atas, pertumbuhan dana perimbangan tertinggi terjadi bersamaan dengan dimulainya kebijakan otonomi daerah pada tahun 2001 dan terendah pada tahun 2002 akibat pemekaran Kota Bima. Adapun peningkatan setelah tahun 2002 disebabkan karena adanya Alokasi Minimum (AM) dalam formula DAU untuk menampung Gaji PNS selama 1 tahun. Pertumbuhan negatif terjadi pada tahun 2003 seiring adanya penyerahan personil dan asset kepada Pemerintah Kota Bima, yang ikut mempengaruhi Jumlah Dana Alokasi Umum yang diterima Kabupaten Bima. Adapun peningkatan setelah 2003 disebabkan terjadinya peningkatan gaji PNS, rekrutmen CPNS, peningkatan Porsi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri. Trend Pertumbuhan Realisasi Dana Perimbangan di Kabupaten Bima Selama 2000-2005 Sumber: Laporan Realisasi APBD (2000-2006), diolah
b. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah adalah sumber pendapatan yang diperoleh dari dalam daerah yang mana pemungutan dan pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah daerah. Salah satu isu yang menarik terkait dengan kebijakan desentralisasi fiskal adalah menyangkut peningkatan kapasitas daerah untuk meningkatkan PAD atau yang disebut dengan taxing power. Namun demikian, undang-undang mengamanatkan bahwa peningkatan PAD tidak boleh menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang menghambat pelayanan publik dan iklim dunia usaha. Secara teoritis besar kecilnya potensi PAD pada suatu daerah dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi daerah yang bersangkutan, terutama pada sektor industri dan jasa. Sebab kedua sektor tersebut merupakan basis PAD yang sangat dominan. Dengan demikian, untuk mengestimasi besarnya PAD dan pertumbuhan PAD setiap tahunnya dapat digunakan asumsi pertumbuhan ekonomi daerah yang digunakan. Komponen PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD dan lain-lain PAD. Gambaran perkembangan realisasi PAD di Kabupaten Bima dapat dilihat pada Grafik di bawah ini. Perkembangan Realisasi Komponen Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Bima Selama 2000-2005 Sumber: Laporan Realisasi APBD (2000-2006), diolah
Pertumbuhan Komponen PAD di Kabupaten Bima, 2001-2006 Sumber: Laporan Realisasi APBD (2000-2005), diolah
Dari 2 grafik di atas tampak bahwa komponen PAD selama 2000-2005 terjadi pertumbuhan yang relatif stabil adalah Retribusi Daerah dan laba BUMD. Sedangkan Pajak Daerah mengalami pertumbuhan negatif selama 3 tahun terakhir (2004-2006). Sementara Lain-lain PAD mengalami pertumbuhan yang sangat fluktuatif, karena sifatnya yang tidak dapat ditargetkan secara pasti. Rasio PAD Terhadap Belanja di Kabupaten Bima (2000-2006) Berdasarkan Realisasi Sumber: Laporan Realisasi APBD (2000-2006), diolah
Berdasarkan grafik di atas, kemampuan PAD membiayai belanja daerah mengalami peningkatan dari 3,90% pada 2000 menjadi 4,78% pada tahun 2006. Rasio tertinggi terjadi pada tahun 2003 yang mencapai 6,47%. Dengan kondisi seperti ini bahwa PAD belum dapat diandalkan untuk membiayai program dalam APBD yang terus meningkat seiring tuntutan kebutuhan dan cakupan layanan publik yang harus semakin baik. Kendatipun belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan pembangunan ke depan, namun telah menunjukkan perkembangan yang relatif menggembirakan. Faktor yang mempengaruhi naik- turunnya rasio PAD terhadap belanja adalah : • Pertumbuhan belanja • Pertumbuhan PAD • Struktur PAD terhadap Pendapatan Daerah Untuk meningkatkan rasio PAD , maka perlu syarat- syarat sebagai berikut : • Rasio PAD akan meningkat apabila pertumbuhan PAD lebih besar dari pertumbuhan belanja. Secara umum pertumbuhan belanja mengikuti pertumbuhan pendapatan. • Pertumbuhan PAD harus lebih tinggi dari pertumbuhan Pendapatan Daerah Perkembangan Realisasi PAD Kabupaten Bima Selama 2000-2006 (Dalam Milyar Rupiah) Sumber: Laporan Realisasi APBD (2000-2006), diolah
Semenjak diberlakukannya otonomi daerah, Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bima mengalami peningkatan yang luar biasa, dari Rp. 3,84 Milyar pada tahun 2000 menjadi Rp. 19,17 Milyar pada tahun 2006. Peningkatan tersebut seiring terjadinya perubahan beberapa pos PAD dan Dana perimbangan yang sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah pusat atau provinsi menjadi kewenangan pemerintah kabupaten sebagai bentuk pemihakan terhadap kebijakan taxing power. Adapun terjadinya fluktuasi selama periode 2000-2006 lebih disebabkan adanya masalah-masalah yang bersifat struktural seperti : terbatasnya sarana/prasarana, kesadaran masyarakat yang lemah, data yang tidak mutakhir, termasuk penyerahan beberapa asset kepada Kota Bima seiring terbentuknya Kota Bima pada tahun 2003 dan sesudahnya. Belanja
Belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam APBD yang diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Secara umum belanja daerah dapat dikategorikan ke dalam belanja aparatur dan belanja publik. Belanja publik merupakan belanja yang penggunaannya diarahkan dan dinikmati langsung oleh masyarakat. Meskipun demikian, seiring perubahan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pengelolaan keuangan daerah sejak pemberlakuan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2003 yang selanjutnya diganti dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006, kategorisasi belanja daerah selalu mengalami perubahan nama.
Perkembangan Realisasi Belanja dalam APBD Kabupaten Bima Selama 2000-2006 Sumber: Laporan Realisasi APBD (2000-2006), diolah
Tampak bahwa selama 2000-2006 belanja total mengalami peningkatan yang relatif konstan, kecuali belanja aparatur yang mengalami penurunan seiring terjadinya pemekaran Kabupaten Bima menjadi Kota Bima sejak tahun 2003. Sedangkan belanja publik terus mengalami peningkatan, yang menunjukkan semakin banyaknya tuntutan kebutuhan pembangunan. Realisasi belanja per kapita terus mengalami peningkatan dari Rp. 24,76 juta tahun 2000 menjadi Rp. 68,13 juta tahun 2005 per tahun. Belanja publik per kapita terus mengalami peningkatan dari Rp. 8,17 juta pada tahun 2000 menjadi Rp. 23,28 juta pada tahun 2005. Masih rendahnya belanja publik per kapita disebabkan karena masih tingginya komponen belanja pegawai terhadap APBD. Sedangkan porsi APBD terhadap PDRB mengalami peningkatan dari 9,83% pada tahun 2000 menjadi 17, 37% pada tahun 2005. Dilihat dari indikator elastisitas APBD terhadap pertumbuhan ekonomi secara rata- rata sebesar 0,04 %, kecuali pada tahun 2003 mencapai 2,13% yang berarti bahwa dampak APBD terhadap pertumbuhan ekonomi masih perlu dipacu lagi melalui penajaman program dan kegiatan dalam APBD.PERAN APBD DALAM PEMBANGUNAN DAERAH
Peran APBD dalam Menyejahterakan & Memandirikan Rakyat
Gubernur Jatim Soekarwo berjanji segera merealisasikan program kerjanya yang tertuang dalam konsep APBD untuk Rakyat. Artinya, ke depan sesegera mungkin APBD untuk rakyat direalisasikan menjadi program riil untuk seluruh rakyat Jatim. Tapi, pada era otonomi daerah (otda) seperti sekarang, harus seperti apa merealisasikan APBD untuk rakyat itu?
Sekadar membuat program, lalu dijalankan oleh perangkat birokrasi di jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim? Disinilah persoalannya. Sebab, pemerintah kabupaten-kota juga memiliki otonomi, baik program maupun kewenangan otonomi. Kewenangan itu, sesuai UU No 32/2004, tidak bisa diintervensi pemprov. Dengan kata lain, posisi pemprov saat ini bukan bersifat subordinasi terhadap kabupaten-kota di Jatim.
Bagaimana kalau jalan sendiri-sendiri? Tentu saja akan banyak tarik-menarik serta tumpang tindih. Akibatnya, pembiayaan menjadi tidak fokus serta boros anggaran. Dan itu berarti masyarakat dirugikan. Karena itu, Soekarwo perlu mencari jalan tengah yang akomodatif. Dalam hal ini, perlu melakukan langkah yang lebih melibatkan pemerintah kabupaten-kota dalam merealisasikan janji program kerjanya. Ini sekaligus menjadi langkah awal untuk melembagakan fungsi koordinasi, supervisi, mediasi, dan supporting agar ke depan Pemprov Jatim bisa meningkatkan integrasi program dengan pemerintah 38 kabupaten-kota. Dengan mengawali langkah seperti ini, pemprov sekaligus menjadi tali penyambung kemitraan dan sinergi antarkabupaten-kota serta agar membiasakan diri saling bekerja sama. Tidak jalan sendiri-sendiri yang sering berakibat baik bagi internal kabupatenkota di satu pihak, namun juga berakibat buruk bagi kabupaten-kota lain. Atau, baik bagi provinsi, tapi berakibat buruk bagi kabupaten-kota.
Secara empiris kinerja pembangunan di Jatim tahun 2007 bidang ekonomi naik sebesar 6,11% dan tahun 2008 tumbuh hanya sebesar 5,90%. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2007 sebesar 68,06%, sedangkan tahun 2008 meningkat menjadi 68,92%. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin sebesar 18,89% sedangkan tahun 2008 menurun menjadi 16,97%.
Konsep Negara
Tema kesejahteraan rakyat yang selalu mengemuka dalam perdebatan publik lebih banyak retorika politik, yang berangkat dari interpretasi sepihak, baik di kalangan pejabat pemerintah maupun politisi di parlemen. Dalam konteks ini, perlu menyimak ulang ide negara kesejahteraan dengan merujuk pemikir-pemikir klasik antara lain Asa Griggs, The Welfare state in Historical Perspective (1961); Friedrich Hayek, The Meaning of the Welfare state (1959); dan Richard Titmuss, Essays on the Welfare state (1958).
Buku Titmuss ini bisa dibilang karya magnum-opus yang secara mendalam mengupas ide negara kesejahteraan sebagai berikut: "a welfare state is a state in which organized power is deliberately used through politics and administration in an effort to modify the play of market forces to achieve social prosperity and economic well-being of the people".Pemikiran tersebut dapat disarikan menjadi tiga hal esensial. Pertama, negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk memperoleh pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling pokok. Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial jika individu dan keluarga ada dalam situasi rawan/rentan sehingga mereka dapat menghadapi social contigencies, seperti sakit, usia lanjut, menganggur, dan miskin yang potensial mengarah ke atau berdampak pada krisis sosial. Ketiga, semua warga negara, tanpa membedakan status dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi (bagi anak balita), sanitasi, dan air bersih.
Merujuk tiga gagasan itu, jika dikaitkan dengan masa kini adalah pergeseran pada sistem pemerintahan demokratis dan terlembaga, institusionalisasi politik dan lembaga-lembaga pemerintahan yang menjadi ciri negara demokrasi modern harus dan terus berproses menuju konsolidasi. Arah dan perkembangan peran negara telah terjadi sebagai akibat proses modernisasi dan demokratisasi sistem pemerintahan negara.
Faham negara mengalami perkembangan dari Political state menjadi Legal state dan akhirnya Welfare state. Ketiga faham tersebut semuanya memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki negara sebagai penentu kehendak terhadap aktifitas rakyat yang dikuasainya. Negara “Welfare state” muncul sebagai jawaban atas ketimpangan sosial yang terjadi dalam sistem ekonomi liberal. Pada faham Negara Kesejahteraan sudah dikenal adanya pembagian (distribution) dan pemisahan (separation) kekuasaan. Negara memiliki freies ermessen, yaitu kebebasan untuk turut serta dalam seluruh kegiatan sosial, politik dan ekonomi dengan tujuan akhir menciptakan kesejahteraan umum (bestuurszorg).
Lembaga Negara pada tiga dasarwasa terakhir abad ke 20 mengalami perkembangan yang pesat. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain:
a. Negara mengalami perkembangan di mana kehidupan ekonomi dan sosial menjadi sangat kompleks yang mengakibatkan badan eksekutif mengatur hampir seluruh kehidupan masyarakat
b. Hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara kesejahteraan (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensip dari semua lembaga negara yang ada.
c. Adanya keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin komplek mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-institusi kenegaraan semakin berkembang.
d. Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan terjadinya berbagai kesulitan ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation).
Tujuan negara kesatuan Republik Indonesia alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Adapun tujuan negara Indonesia adalah
1. untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. untuk memajukan kesejahteraan umum;
3. untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
4. untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Jadi Fungsi Negara yang mutlak adalah :
1. Melaksanakan penertiban (law and order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam rnasyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai "stabilisator".
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini dianggap sangat penting, terutama bagi negara-negara baru. Pandangan ini di Indonesia tercermin dalam usaha pemerintah untuk membangun melalui suatu rentetan Repelita.
3. Pertahanan; hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk ini negara dilengkapi dengan alatalat pertahanan.
APBD dan Stimulus Ekonomi
Otonomi daerah memberikan kebebasan pemda untuk menggunakan anggaran sesuai keperluan mereka. Asumsinya, pemerintah daerah lebih mengerti kondisi di daerahnya sehingga alokasi anggaran lebih tepat dan sesuai kebutuhan. UU No 25/1999 tentang Desentralisasi Fiskal memberikan jaminan pemda untuk menggunakan APBD demi perekonomian daerahnya. Sesuai UU No 25/1999, ada lima komponen sumber penerimaan PAD, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, penerimaan dinas, dan penerimaan sah lainnya. Namun, di daerah-daerah di Jawa, PAD hanya memberikan kontribusi kurang dari 10 persen dari APBD. Bagian terbesar dari APBD di daerah-daerah di Pulau Jawa adalah DAU (dana alokasi umum) dari pemerintah pusat.
Mazhab ekonomi Keynessian dan Neo-Keynessian memberikan saran bahwa campur tangan pemerintah dalam perekonomian sangat diperlukan untuk menciptakan keseimbangan perekonomian dalam jangka pendek. Dalam kondisi ekonomi booming, maka pemerintah bisa mengurangi campur tangannya dalam perekonomian. Namun, pada saat perekonomian mengalami overheating atau aktivitas ekonomi yang terlalu dinamis, pemerintah bisa mengerem laju pertumbuhan ekonomi untuk menghindari resesi. Sebaliknya, dalam kondisi perekonomian lesu, pemerintah harus membantu menggairahkan kondisi ekonomi.
Instrumen yang digunakan pemerintah dalam mengendalikan perekonomian adalah instrumen fiskal, yaitu anggaran. Selama ini masyarakat mempunyai anggapan bahwa yang bertanggung jawab memberikan stimulus dalam perekonomian adalah pemerintah pusat, maka instrumen yang dilakukan dengan pengelolaan APBN. Masalahnya, dalam era otonomi daerah sekarang ini, kontrol pemerintah terhadap anggaran dikurangi. Ini karena adanya kewajiban bagi pemerintah pusat untuk membagi wewenang dalam penentuan anggaran pembangunan bagi daerah melalui mekanisme DAU. Dana alokasi umum berarti pemerintah menyerahkan sebagian tanggung jawabnya dalam melakukan stimulus bagi perekonomian.
UU No 25/1999 berarti pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk turut serta memberikan rangsangan (stimulus) dalam perekonomian apabila kondisi ekonomi lesu. Ini dilakukan dengan pengelolaan APBD secara benar. Ini tampaknya kurang dipahami pemerintah daerah. Ada banyak kasus kebijakan pemda tidak mempunyai tujuan menggerakkan perekonomian daerah. Misalnya dalam menentukan anggaran pembangunan, banyak proyek pemda yang tidak bisa dilihat dampak berantai (multiplier effect)-nya bagi perekonomian. Kondisi di daerah miskin di Pulau Jawa, pembangunan (fisik dan nonfisik) tidak berjalan dengan baik karena APBD defisit sehingga hanya cukup untuk membiayai anggaran rutin. Sebaliknya, di daerah kaya di luar Pulau Jawa, yang APBD-nya surplus, maka kesulitannya adalah menentukan prioritas pembangunan.
Pengelolaan APBD yang tidak efisien ternyata mempunyai dua sisi. Defisit APBD yang terjadi di daerah-daerah di Pulau Jawa jelas berdampak negatif bagi perekonomian daerah karena pemda tidak mampu memberikan stimulus bagi perekonomian. Namun, daerah yang mempunyai APBD surplus ternyata juga tidak mampu memberikan stimulus bagi perekonomian dengan APBD karena anggaran pembangunan tidak dikelola dengan efisien.
Pembangunan kesejahteraan sosial, memiliki arti strategis bagi pembangunan daerah. Sedikitnya ada empat (4) fungsi penting pembangunan kesejahteraan sosial bagi keberlanjutan pembangunan di daerah :
1. Mempertegas peran penyelenggara negara dalam melaksanakan mandat “kewajiban Negara” (state obligation) untuk melindungi warganya dalam menghadapi resiko-resiko sosial-ekonomi yang tidak terduga (sakit, bencana alam, krisis) dan pemenuhan kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dan berkualitas.
2. Mewujudkan cita-cita keadilan social secara nyata. Pembangunan kesejahteraan social yang dilandasi prinsip solidaritas dan kesetiakawanan sosial pada dasarnya merupakan sarana redistribusi kekayaan suatu daerah dari kelompok berpenghasilan kuat (pengusaha, penguasa, pekerja mandiri) kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Melalui mekanisme perpajakan, pemerintah daerah mengatur dan menyalurkan sebagian PAD-nya untuk menjamin tidak adanya warga masyarakat yang tertinggal dan terpinggirkan oleh derap pembangunan.
3. Mendorong pertumbuhan ekonomi. Pembangunan kesejahteraan social memberi kontribusi terhadap penyiapan tenaga kerja, stabilitas social, ketahanan masyarakat, dan ketertiban social yang pada hakekatnya merupakan prasarat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Sebagai ilustrasi, program perlindungan anak atau pelatihan remaja putus sekolah memperkuat persediaan dan kapasitas tenaga kerja dalam memasuki dunia kerja. Stabilitas social merupakan fondasi bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi, kepada masyarakat yang menghadapi konflik social sulit menjalankan kegiatan pembangunan.
4. Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Fokus pembangunan kesejahteraan social adala pada pembangunan manusia dan kualitas SDM memlalui perlunya pendidikan dan kesehatan masyarakat penduduk miskin.
Sekadar membuat program, lalu dijalankan oleh perangkat birokrasi di jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim? Disinilah persoalannya. Sebab, pemerintah kabupaten-kota juga memiliki otonomi, baik program maupun kewenangan otonomi. Kewenangan itu, sesuai UU No 32/2004, tidak bisa diintervensi pemprov. Dengan kata lain, posisi pemprov saat ini bukan bersifat subordinasi terhadap kabupaten-kota di Jatim.
Bagaimana kalau jalan sendiri-sendiri? Tentu saja akan banyak tarik-menarik serta tumpang tindih. Akibatnya, pembiayaan menjadi tidak fokus serta boros anggaran. Dan itu berarti masyarakat dirugikan. Karena itu, Soekarwo perlu mencari jalan tengah yang akomodatif. Dalam hal ini, perlu melakukan langkah yang lebih melibatkan pemerintah kabupaten-kota dalam merealisasikan janji program kerjanya. Ini sekaligus menjadi langkah awal untuk melembagakan fungsi koordinasi, supervisi, mediasi, dan supporting agar ke depan Pemprov Jatim bisa meningkatkan integrasi program dengan pemerintah 38 kabupaten-kota. Dengan mengawali langkah seperti ini, pemprov sekaligus menjadi tali penyambung kemitraan dan sinergi antarkabupaten-kota serta agar membiasakan diri saling bekerja sama. Tidak jalan sendiri-sendiri yang sering berakibat baik bagi internal kabupatenkota di satu pihak, namun juga berakibat buruk bagi kabupaten-kota lain. Atau, baik bagi provinsi, tapi berakibat buruk bagi kabupaten-kota.
Secara empiris kinerja pembangunan di Jatim tahun 2007 bidang ekonomi naik sebesar 6,11% dan tahun 2008 tumbuh hanya sebesar 5,90%. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2007 sebesar 68,06%, sedangkan tahun 2008 meningkat menjadi 68,92%. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin sebesar 18,89% sedangkan tahun 2008 menurun menjadi 16,97%.
Konsep Negara
Tema kesejahteraan rakyat yang selalu mengemuka dalam perdebatan publik lebih banyak retorika politik, yang berangkat dari interpretasi sepihak, baik di kalangan pejabat pemerintah maupun politisi di parlemen. Dalam konteks ini, perlu menyimak ulang ide negara kesejahteraan dengan merujuk pemikir-pemikir klasik antara lain Asa Griggs, The Welfare state in Historical Perspective (1961); Friedrich Hayek, The Meaning of the Welfare state (1959); dan Richard Titmuss, Essays on the Welfare state (1958).
Buku Titmuss ini bisa dibilang karya magnum-opus yang secara mendalam mengupas ide negara kesejahteraan sebagai berikut: "a welfare state is a state in which organized power is deliberately used through politics and administration in an effort to modify the play of market forces to achieve social prosperity and economic well-being of the people".Pemikiran tersebut dapat disarikan menjadi tiga hal esensial. Pertama, negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk memperoleh pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling pokok. Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial jika individu dan keluarga ada dalam situasi rawan/rentan sehingga mereka dapat menghadapi social contigencies, seperti sakit, usia lanjut, menganggur, dan miskin yang potensial mengarah ke atau berdampak pada krisis sosial. Ketiga, semua warga negara, tanpa membedakan status dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi (bagi anak balita), sanitasi, dan air bersih.
Merujuk tiga gagasan itu, jika dikaitkan dengan masa kini adalah pergeseran pada sistem pemerintahan demokratis dan terlembaga, institusionalisasi politik dan lembaga-lembaga pemerintahan yang menjadi ciri negara demokrasi modern harus dan terus berproses menuju konsolidasi. Arah dan perkembangan peran negara telah terjadi sebagai akibat proses modernisasi dan demokratisasi sistem pemerintahan negara.
Faham negara mengalami perkembangan dari Political state menjadi Legal state dan akhirnya Welfare state. Ketiga faham tersebut semuanya memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki negara sebagai penentu kehendak terhadap aktifitas rakyat yang dikuasainya. Negara “Welfare state” muncul sebagai jawaban atas ketimpangan sosial yang terjadi dalam sistem ekonomi liberal. Pada faham Negara Kesejahteraan sudah dikenal adanya pembagian (distribution) dan pemisahan (separation) kekuasaan. Negara memiliki freies ermessen, yaitu kebebasan untuk turut serta dalam seluruh kegiatan sosial, politik dan ekonomi dengan tujuan akhir menciptakan kesejahteraan umum (bestuurszorg).
Lembaga Negara pada tiga dasarwasa terakhir abad ke 20 mengalami perkembangan yang pesat. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain:
a. Negara mengalami perkembangan di mana kehidupan ekonomi dan sosial menjadi sangat kompleks yang mengakibatkan badan eksekutif mengatur hampir seluruh kehidupan masyarakat
b. Hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara kesejahteraan (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensip dari semua lembaga negara yang ada.
c. Adanya keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin komplek mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-institusi kenegaraan semakin berkembang.
d. Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan terjadinya berbagai kesulitan ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation).
Tujuan negara kesatuan Republik Indonesia alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Adapun tujuan negara Indonesia adalah
1. untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. untuk memajukan kesejahteraan umum;
3. untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
4. untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Jadi Fungsi Negara yang mutlak adalah :
1. Melaksanakan penertiban (law and order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam rnasyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai "stabilisator".
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini dianggap sangat penting, terutama bagi negara-negara baru. Pandangan ini di Indonesia tercermin dalam usaha pemerintah untuk membangun melalui suatu rentetan Repelita.
3. Pertahanan; hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk ini negara dilengkapi dengan alatalat pertahanan.
APBD dan Stimulus Ekonomi
Otonomi daerah memberikan kebebasan pemda untuk menggunakan anggaran sesuai keperluan mereka. Asumsinya, pemerintah daerah lebih mengerti kondisi di daerahnya sehingga alokasi anggaran lebih tepat dan sesuai kebutuhan. UU No 25/1999 tentang Desentralisasi Fiskal memberikan jaminan pemda untuk menggunakan APBD demi perekonomian daerahnya. Sesuai UU No 25/1999, ada lima komponen sumber penerimaan PAD, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, penerimaan dinas, dan penerimaan sah lainnya. Namun, di daerah-daerah di Jawa, PAD hanya memberikan kontribusi kurang dari 10 persen dari APBD. Bagian terbesar dari APBD di daerah-daerah di Pulau Jawa adalah DAU (dana alokasi umum) dari pemerintah pusat.
Mazhab ekonomi Keynessian dan Neo-Keynessian memberikan saran bahwa campur tangan pemerintah dalam perekonomian sangat diperlukan untuk menciptakan keseimbangan perekonomian dalam jangka pendek. Dalam kondisi ekonomi booming, maka pemerintah bisa mengurangi campur tangannya dalam perekonomian. Namun, pada saat perekonomian mengalami overheating atau aktivitas ekonomi yang terlalu dinamis, pemerintah bisa mengerem laju pertumbuhan ekonomi untuk menghindari resesi. Sebaliknya, dalam kondisi perekonomian lesu, pemerintah harus membantu menggairahkan kondisi ekonomi.
Instrumen yang digunakan pemerintah dalam mengendalikan perekonomian adalah instrumen fiskal, yaitu anggaran. Selama ini masyarakat mempunyai anggapan bahwa yang bertanggung jawab memberikan stimulus dalam perekonomian adalah pemerintah pusat, maka instrumen yang dilakukan dengan pengelolaan APBN. Masalahnya, dalam era otonomi daerah sekarang ini, kontrol pemerintah terhadap anggaran dikurangi. Ini karena adanya kewajiban bagi pemerintah pusat untuk membagi wewenang dalam penentuan anggaran pembangunan bagi daerah melalui mekanisme DAU. Dana alokasi umum berarti pemerintah menyerahkan sebagian tanggung jawabnya dalam melakukan stimulus bagi perekonomian.
UU No 25/1999 berarti pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk turut serta memberikan rangsangan (stimulus) dalam perekonomian apabila kondisi ekonomi lesu. Ini dilakukan dengan pengelolaan APBD secara benar. Ini tampaknya kurang dipahami pemerintah daerah. Ada banyak kasus kebijakan pemda tidak mempunyai tujuan menggerakkan perekonomian daerah. Misalnya dalam menentukan anggaran pembangunan, banyak proyek pemda yang tidak bisa dilihat dampak berantai (multiplier effect)-nya bagi perekonomian. Kondisi di daerah miskin di Pulau Jawa, pembangunan (fisik dan nonfisik) tidak berjalan dengan baik karena APBD defisit sehingga hanya cukup untuk membiayai anggaran rutin. Sebaliknya, di daerah kaya di luar Pulau Jawa, yang APBD-nya surplus, maka kesulitannya adalah menentukan prioritas pembangunan.
Pengelolaan APBD yang tidak efisien ternyata mempunyai dua sisi. Defisit APBD yang terjadi di daerah-daerah di Pulau Jawa jelas berdampak negatif bagi perekonomian daerah karena pemda tidak mampu memberikan stimulus bagi perekonomian. Namun, daerah yang mempunyai APBD surplus ternyata juga tidak mampu memberikan stimulus bagi perekonomian dengan APBD karena anggaran pembangunan tidak dikelola dengan efisien.
Pembangunan kesejahteraan sosial, memiliki arti strategis bagi pembangunan daerah. Sedikitnya ada empat (4) fungsi penting pembangunan kesejahteraan sosial bagi keberlanjutan pembangunan di daerah :
1. Mempertegas peran penyelenggara negara dalam melaksanakan mandat “kewajiban Negara” (state obligation) untuk melindungi warganya dalam menghadapi resiko-resiko sosial-ekonomi yang tidak terduga (sakit, bencana alam, krisis) dan pemenuhan kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dan berkualitas.
2. Mewujudkan cita-cita keadilan social secara nyata. Pembangunan kesejahteraan social yang dilandasi prinsip solidaritas dan kesetiakawanan sosial pada dasarnya merupakan sarana redistribusi kekayaan suatu daerah dari kelompok berpenghasilan kuat (pengusaha, penguasa, pekerja mandiri) kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Melalui mekanisme perpajakan, pemerintah daerah mengatur dan menyalurkan sebagian PAD-nya untuk menjamin tidak adanya warga masyarakat yang tertinggal dan terpinggirkan oleh derap pembangunan.
3. Mendorong pertumbuhan ekonomi. Pembangunan kesejahteraan social memberi kontribusi terhadap penyiapan tenaga kerja, stabilitas social, ketahanan masyarakat, dan ketertiban social yang pada hakekatnya merupakan prasarat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Sebagai ilustrasi, program perlindungan anak atau pelatihan remaja putus sekolah memperkuat persediaan dan kapasitas tenaga kerja dalam memasuki dunia kerja. Stabilitas social merupakan fondasi bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi, kepada masyarakat yang menghadapi konflik social sulit menjalankan kegiatan pembangunan.
4. Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Fokus pembangunan kesejahteraan social adala pada pembangunan manusia dan kualitas SDM memlalui perlunya pendidikan dan kesehatan masyarakat penduduk miskin.
Langganan:
Postingan (Atom)